Rabu, 27 Juli 2016

Membangun Etos Kemandirian Ekonomi Warga

Oleh: Wahyudi

Hari minggu (24/7) Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PB-NU) mengadakan Rapat Pleno di Pesantren Khas Kempek kabupten Cirebon dengan menggambil tema “Meneguhkan Islam Nusantara dalam Meningkatkan Kemandirian Warga”.  NU sebagai organisasi sosial masyarakat terbesar dan memiliki jaringan yang luas sangat memiliki peran penting dalam memberikan kesadaran kepada anggota dan seluruh warga NU akan pentingnya kemandirian ekonomi. Kenyataan yang ada kita jujur akui bahwa hampir sebgaian besar penduduk miskin Indonesia (terutama di jawa) didominasi oleh warga NU yang berada di desa-desa atau perkampungan.

Adalah sangat tepat dan strategis tema besar yang di usung oleh Rapat Pleno PB NU yang menyoal dan mengajak peningkatan kemandirian ekonomi warga. Bagaimana NU sebagai organisasi kemasyarakatan yang besar menjadi gerakan pemberdayaan dan penyadaran akan pentingnya peningkatan kualitas drajat ekonomi kepada warganya. Warga NU di abad 21 dan era globalisasi ini dituntut tidak hanya memiliki mental bertasbih dan berpasrah terhadap kemiskinan, akan tetapi bagaimana memiliki etos adan kesadaran kemandirian ekonomi yang kuat. Hidup sejahtera tidak hanya terpenuhinya unsur spiritual semata, tetapi juga terpenuhinya kebutuhan ukhrawi yang tidak bisa dinafikan.

Apa yang diusung presiden Jokowi membangun Indonesia dari pinggiran, dari desa-desa dan dicanangkannya gerakan revolusi mental adalah sangat tepa dan cocok dengan tema besar yang diusung PB NU kali ini yakni “membangun kemandirian ekonomi warga”. NU dengan organisasi yang memiliki basis kuat di plosok desa sejatinya harus memosisikan sebagai mitra strategis pemerintah dalam membangun Indonesia dari desa. Program penyaluran dana desa yang cukup besar, kredit rakyat dan program pro usaha rakyat lainnya bagaimana dikawal dan dipastikan berjalan tepat sasaran di desa-desa. Usaha UKM yang banyak tumbuh dan berkembang di desa-desa adalah sasaran utama.

Sebenarnya, yang lebih penting dari makna tema yang diusung PBNU adalah bagaimana memberikan kesadaran dan pembentukan etos atau mental berusaha meningkatkan kualitas kesejahteraan ekonomi kepada warga NU. Penumbuhan dan pembentukan etos saudagar justru lebih utama yang harus ditumbuhkan terlebih dahulu. Para kiyai NU yang tersebar di plosok desa-desa bagaimana dalam ceramah-ceramahnya memberikan motivasi akan pentingnya kemandirian ekonomi dalam islam. Islam adalah agama yang sangat mementingkan aspek kemandirian ekonomi bagi pemeluknya. Tidak benar jika islam adalah ajaran yang mengajak pemeluknya untuk miskin dan pasrah pada nasib. Justru islam adalah ajaran pembentukan saudagar.

Pembentukan etos kemandirian ekonomi warga adalah tak lain dari gagasan “revolusi mental” presiden Jokowi.  Pencanangan tema kemandirian ekonomi warga yang lebih menohok pada kesadaran etos berwirausaha atau berdikari dalam ekonomi sesungguhnya adalah bagian dari geerakan revolusi mental. Namun sayangnya, hingga hari ini program gerakan revolusi mental yang dicanangkan Jokowi masih amat “bias” dan tidak jelas bentuknya. Hanya sebatas tataran wacana, meski sesungguhnya gagasan gerakan revolusi mental ini sangat bagus dan revolusioner  untuk pembangunan atau perubahan sosial bangsa Indonesia yang berdikari dalam bidang ekonomi, politik dan budaya.

Disinilah tugas NU, bagaimana gagasan peningkatan kemandirian ekonomi warga itu dijadikan sebagai agenda gerakan revolusi mental warga NU. Hari ini kita memimpikan NU sebagai tempat lahirnya saudagar-saudagar yang shaleh yang akan menopang kemandirian ekonomi ummat dan bangsa. Warga NU memilki etos dan kesadaran yang kuat dalam membangun kesejahteraan ekonominya. Dari tema yang diusung Rapat Pleno PBNU kali ini harus menjadi titik balik sejarah khitto NU. NU sebagai organisasi yang didalamnya menjadi tempat persemaian mekar dan tumbuhnya jiwa-jiwa saudagar. Disinilah titik balik revolusi sejarah NU.

Inilah trobosan besar dan kontribusi besar NU di abad 21, dimana NU tidak hanya berhasil menjaga Indonesia dari pertengkaran perbedaan. Yakni dimana selama ini warga NU memiliki etos moderatisme, yang tidak kanan atau tidak kiri, NU mengajarkan jalan tengah dalam melihat sesuatu dengan sikap toleransi. Tetapi juga agenda di era digital dan era revolusi industri ke empat ini NU menjadi lumbung besar lahirnya saudagar muslim Indonesia.

Kita mendukung tema “Meneguhkan islam nusantara dalam meningkatkan kemandirian ekonomi warga” tidak hanya mengudara sebata wacana yang teronggok di peti kepentingan politik sesaat. Tetapi tema ini memang benar berangkat dari nurani, gagasan dan kemauan transformative yang membumi di masa depan. Kepada warga nadyin, Selamat menjalankan rapat pleno PBNU.

Artikel ini diterbitkan (dimuat) oleh Harian Kabar Cirebon edisi 26 Juli 2016 di Halaman Rubrik Opini. 

Berikut gambar edisi Cetak Harian Kabar Cirebon


Senin, 18 Juli 2016

Menuggu Langkah Bijak Jokowi

Oleh: Wahyudi

Rabu pagi sekali, adalah hari dimana istana Negara banyak menuai spekulasi publik. Pagi dimana para menteri di panggil mendadak oleh sang presiden Jokowi.Di tengah kencangnaya pengumbaran isu reshuffle kabinet dalam sepekan terakhir ini. Wajar jika kemudian publik mengkorelasikan pemanggilan sejumlah menteri itu dengan isu reshuffle. Reshuffle atau perombakan kabinet selalu menjadi isu yang menarik jika kita mencermati persoalan yang sebenarnya yang dialami pemerintah. Di rombak atau tidaknya susunan kabinet ini kita layak menyimak dan harus memandang sebagai isu yang penting mengingat soal reshuffle merupakan sebuah pertaruhan bagi perjalanan negara dan bangsa.

Pertama, menurut pengamat politik Qodari bahwa dalam menjalankan program-program pembangunan setidaknya ada empat unsur yang menjadi pilar penyangga Presiden, yakni parlemen, kabinet, TNI, dan Polri. Soal dukungan parpol di parlemen sudah tidak ada masalah karena mayoritas parpol sudah mendukung Jokowi. Masuknya PAN, Golkar, dan PPP sebagai partai politik (parpol) pendukung pemerintah adalah sebuah bentuk modal penting. Di saat yang sama TNI dan Polri juga dinilai sudah solid. Fakta terakhir, pergantian Kapolri berjalan dengan sangat mulus. Sehingga yang belum beres adalah persoalan komposisi kabinet. Oleh sebab itu, wajar jika sekarang ada pendapat bahwa sekaranglah waktunya (melakukan reshuffle).

Kedua, kita sepakat dalam sisitem presidensial, reshuffle sepenuhnya adalah hak prerogatif presiden. Demi kinerja kabinet yang lebih baik, tidak ada salahnya jika harus dilakukan perombakan susunan kabinet. Presiden memegang hak untuk melakukan perombakan demi mencapai program pembangunanya. Bagaimanapun kita menghormati langkah bijak Jokowi. Yang paling penting adalah, Presiden Jokowi harus tegas bahwa dirinya dalam hal reshuffle tidak mau di intervensi oleh siapa pun. Sikap ini diperlukan untuk menegaskan dalam konteks menjaga nafas dan sistem pemerintahan presidensial.

Biarkanlah Presiden dengan otoritasnya memikirkan, memilih, dan menentukan siapa yang akan disisikan dan yang akan diangkat dalam perombakan kabinetnya. Bagaimanapun reshuffle adalah wilayah kebijakan Presiden, bukan urusan kekuatan yang lain. Kita harus bijak dan memberikan ruang kepada sang Presiden Jokowi untuk memilih sendiri sosok professional yang ahli dibidangnya untuk menjadi menteri.

Kita tentu tidak ingin presiden termakan oleh “giringan” propaganda negatif elite parpol (partai politik). Maka ditengah santernya gosip reshuffle ini alangkah baiknya Jokowi juga mau mencermati “grasak-grusuk” para elite politik yang memiliki agenda memaksa reshuffle kabinet. Disinilah sejatinya presiden Jokowi harus mandiri dan tidak boleh takut terhadap intervrensi elite parpol yang selama ini memang memiliki ambisi reshuffle (yang sejatinya diluar kepentingan publik). Kita ingin langkah jokowi dalam mereshuffle kabinet benar-benar dari nurani diri, inisiatif dan independensi dirinya.
***

Jika memang benar reshuffle itu dilakukan, sosok yang harus dijadikan pertimbangan sejatinya mereka yang memiliki kapabilitas di bidangnya. Bukan karena atas dorongan dan tekanan dari kekuatan politik tertentu dan atas dasar “politik balas budi” kepada mereka yang memiliki kedekatan posisi politik terhadap pemerintah.  Sekalipun keinginan semua kekuatan parpol pada akses kekuasaan, Presiden Jokowi harus bekerja sama untuk memaksimalkan posisi kepentingan rakyat dalam melakukan agenda reshufflenya. Seandainya salah satu kementerian dipastikan untuk jatah partai tertentu, tetapi dengan catatan tetap yang mengisinya haruslah sosok yang profesional di bidangnya.

Kita ingin langkah reshuffle bukan berangkat dari nafsu dan ambisi golongan politik tertentu. Tetapi berangkat dari langkah objektif dan wujud progresif dalam memperbaiki kinerja pemerintah demi pelaksanaan program pembangunan rakyat yang lebih baik. Kepuutusan reshuffle adalah urusan semua orang, sebab persoalan ini menyangkut pertaruhan penting kehidupan (pembangunan) bangsa dan negara. Jika alasannya untuk memperbaiki kinerja pemerintah maka bagaimanapun publik tentu sangat mendukung. 

Kita masih ingat bagaimana soal daging sapi yang hingga hari ini menjadi persoalan yang tidak pernah bisa tuntas diselesaikan oleh pemerintah. Belum lagi persoalan mudik dan yang lainnya. Dengan sejumlah contoh persoalan inilah resfhuffle haruslah ‘mengena’ pada sejumlah menteri yang memang dianilai belum baik kinerjanya. Namun jika ternyata menteri itu memiliki kinerja baik, sekalipun tidak memiliki dukungan politik maka tidak elok rasanya jika kemudain ternyata menjadi korban reshuffle. Oleh sebab itulah reshuffle harus didasarkan pada objektifitas, bukan didasarkan pada pertimbangan yang berbau politik. Atau dengan kata lain, reshuffle semata untuk dan demi kepentingan rakyat.

Kita ingin, jangan sampai keributan menuju reshuffle justru merugikan langkah negeri ini yang ingin terus maju dan baik. Reshuffle jelas boleh, sangat boleh, tapi harus untuk rakyat Indonesia yang lebih baik. Pergantian menteri yang tidak perform seharusnya tidak didasarkan atas hasrat politik terhadap kepentingan pendukung koalisi pemerintah. Jika reshuffle pertama tidak menghasilkan capaian kinerja yang maksimal. Maka pergantian menteri sebaiknya bisa dilakukan lagi. Menteri-menteri yang sudah tidak mumpuni sudah waktunya untuk diganti. Keputusan ini memang amat penting jika ingin kondisi yang jauh dari ekspektasi ini mau segera diakhiri.  Sekali lagi kita menunggu langkah bijak Jokowi.[]

Artikel ini diterbitkan di Harian Tribun Senin 18 Juli 2016. 



Minggu, 17 Juli 2016

Fenomena Pokemon: Aku Online, Maka Aku Ada

Oleh: Wahyudi

Untuk menggambarkan kecanduan dan ketergantungan masyarakat modern era digital terhadap gawai atau internet kiranya tepat jika kita meminjam terminology slogan “aku berfikir, maka aku ada” atau dalam bahasa latinnya "Cogito ergo sum", adalah pernyataan seorang filsuf besar Descartes yang menggambarkan bahwa seseorang akan berada dalam kesadaran ketika ia berfikir. Atau ketika aku berfikir maka aku ada. Namun sebaliknya, jika seseorang tidak menggunakan fikirannya, maka ia pun berada dalam ketidaksadaran. 

Slogan filsuf  tersebut sepertinya berlaku pula dengan kehidupan manusia modern yang aktivitas kesehariannya selalu tidak lepas dari gawai atau teknologi digital dengan berbagai aplikasi yang menyihir kita, terutama seperti aplikasi game. Kita merasa kehilangan sesuatu jika satu jam saja tidak berselancar di internet, entah itu bermain di media sosial, game online atau sekedar pemenuhan hobi  searching informasi. Ada kehampaan yang mendalam didalam fikiran dan sanubari kita. Persanaan inilah yang kiranya menggambarkan slogan manusia modern era digital yakni “aku online maka aku ada”. Jika aku tak online, maka aku hampa dan gunda gulana.

Di era teknologi digital yang berkembang pesat sebagai konsekuensi perkembangan sains dan tekologi informasi telah merubah banyak tata budaya peradaban manusia. Fenomena kecanggihan teknologi yang terus bermunculan sesungguhnya juga menyisakan problem yang menjelma menjadi persoalan kompleks masyarakat modern. Dengan kemajuan teknologi informasi, dimana dewasa ini setiap orang memiliki gawai (smart phone) yang menjadikan kita sibuk dengan dunianya sendiri, sehingga benarlah bahwa semakin kebelakang kemajuan teknologi menjadikan manusia semakin individualis dan semakin terkikisnya interaksi sosial.

Terkait kasus kemajuan teknologi, baru-baru ini kita dikagetkan oleh rilis mobile game yang bernama Pokemon GO. Di Harian Radar Cirebon edisi minggu (17 Juli 2016) kemarin memuat berita Pokemon GO di halaman utamanya. Pokemon GO yang dirilis sejak Juli lalu di AS, Australia dan Selandia baru serta 13 Juli di Eropa adalah permainan canggih terkini yang kehadirannya bahkan mampu menggeser popularitas media sosial mainstream yang banyak digemari penikmat online seperti Instagram dan medosos popular lainnya.

Disebutkan bahwa keunikan game yang dirilis oleh  Niantic Labs dan The Pokemon Company itu pemain diharuskan bergerak atau berjalan dengan bantuan teknologi GPS. Teknologi augmented reality (AR), yang membuat pemain bisa melihat pokemon di layar smartphone seolah berada di dunai nyata, menjadi magnet tersendiri. Ada beberapa hal yang membuat pokemon GO semakin di incar para gamer. Dengan sisitem GPS , pemain game bisa menemukan pokemon, PokeStop dan gym. Lokasi ketiganya diwakili sebua landmark di daerah: bisa berupa patung, kantor, lapangan, taman dan tempat lainnya yang harus dicapai dengan berjalan atau didekati. Oleh karena itu, ketika kita menemukan sekumpulan orang berada di satu titik sambil sibuk menggerak-gerakan HP, besar kemungkinan mereka sedang bermain Pokemon GO. 

Game pokemon GO adalah sebuah fenomena perkembangan teknologi dan manusia modern yang patut kita cermati. Dalam perspektif sosiologis pascamoderenisme, sosiolog Jean Baudrillard, Pokemon GO telah menciptakan sebentuk simulacra. Yang dimaksud simulakra adalah mekanisme ruang dimana simulasi (dalam hal ini perburaun pokemon) dilangskungkan. Merujuk pada simulasi karya Baudrillard, Pokemon GO bisa dikategorikan simulacra yang lahir sebagai konsekuensi perkembangan sain dan teknologi komunikasi. Dalam hal ini simulakra menjadi lahan segala silang sengkarut tanda, citra dan simbol budaya. Dalam mekanisme simulasi itu, manusia terjebak dalam realitas yang dianggap nyata. Padahal sesungguhnya semuanya semu dan penuh rekayasa. (Hidayat: 2012 dalam Udji Kayang A Supriyanto: 2016).

Sesungguhnya fenomena ketergantungan manusia modern terhadap kecanggihan game hanyalah mendapatkan kepuasan semu (hampa)  didalam layar gawai yang kita terus plototi sambil menunduk melihat gawai. Sehingga dalam kondisi demikain manusia akan terus terkungkung dalam dunia imajiner yang jauh dari realitas yang sebenarnya. Fenomena Pokemon GO, jika serta merta dibiarkan sebagai fenomena yang dianggap kewajaran budaya modern, bisa jadi akan menjadi problem perkotaan (peradaban) masa depan. Dengan kehadiran Pokemon GO ini, bisa kita bayangkan, bagaimana jika masyarakat urban kota beramai-ramai menggunakannya.  Setiap orang akan berjalan sendiri-sendiri sambil menunduk focus memperhatikan layar smartphone.  Terus sibuk berjalan, sesekali berjoget keasyikan, tanpa memedulikan lingkungan sekitar. Jika demikian kondisinya, maka sempurnalah tipe manusia perkotaan yang memiliki sifat individualis dan egois.

Catatan ini ditulis pada 17 Juli 2016, sebagai refleksi sosiologis.

Rabu, 13 Juli 2016

Kita dan Smart Phone

Oleh: Wahyudi

Waktu senggang biasa penulis gunakan untuk menulis, menulis apa saja. Tapi tentu dengan tetap selektif dalam memilih tema yang bermanfaat dan biasanya yang sedang menjadi persoalan penting bagi masyarakat. Kali ini penulis memilih di salah satu mall di Kota Cirebon sebagai tempat aktivitas menulis, di sebuah café yang bersandingkan kopi susu hangat serta ditemani sejumlah Koran, buku dan plus laptop. Dengan tempat yang nyaman dan sejuk berharap bisa membantu datangnya inspirasi dan kenyamanan dalam menulis. Menulis memang pekerjaan yang bisa dilakukan dimana saja, sesuka kita. Tiada waktu "nanggur" bagi kita yang suka menulis (penulis). Apalagi di abad 21 ini dimana kita hidup serba mudah dan cepat dengan dibantu alat teknologi komunikasi seperti smart phone yang bisa membantu segala pekerjaan tulis-menulis.

Dengan teknologi komunikasi ini segalanya bisa cepat dan mudah. Sangat membantu mobilitas kita dalam menjalin kerja dengan banyak orang rekanan kita dengan murah dan cepat. Saya pribadi adalah orang yang memiliki hampir semua akun di media sosial popular: seperti di fecebook, twitter, intagram, linked-in, bb dan terakhir blog pribadi. Akun-akun medsos ini sengaja saya buat demi memudahkan aktivitas komunikasi dan tentu sangat membantu kita dalam bekerja. 

Bayangkan sekarang ini kehidupan kita tidak lepas dari smart phone, semua orang atau setiap unit keluarga Indonesia saat ini nyaris memiliki smart phone dan motor. Ini adalah fenomena revolusi besar kita yang tentu sangat berpengaruh dalam perubahan besar ekonomi, sosial dan budaya. Sehingga wajar jika saat ini para pengguna internet sebagai pasar baru yang potensial dan menjanjikan. Atas fenomena ini pula banyak bermunculan jual-beli online. Anda pasti tau fenomena go-jek, grib dan lainnya yang menawarkan ojek online dan masih banyak lagi dalam bidang asuransi, hotel, obat-obatan, barang bekas dan lainnya. Ya, inilah sisi positif teknologi komunikasi itu, jika kita ambil manfaatnya ternyata mampu menjadi solusi persoalan kontemporer.

Teknologi komunikasi, smart phone, motor yang saat ini sudah dalam genggaman setiap unit keluarga Indonesia adalah bagaikan sebuah viral pasar potensial bagi orang mudah yang pintar dalam melihat peluang. Masa depan manusia bisa jadi nanti akan serba online. Teman saya wartawan bilang bahwa adanya kemungkinan besar semua Koran cetak akan beralih ke terbitan edisi digital online.

Banyak Koran dunia saat ini gulung tikar satu per satu dengan pasti akibat minimnya modal financial serta dampak besar perkembangan tekonoki informasi dan komunikasi yang kedatangannya tak bisa terhindarkan. Sebut saja sejumlah media cetak berkelas dunia asal AS yang telah tumbang seperti The Rocky Mountains dan The Washington Post. Sejumlah Koran cetak di Indonesia yang merupakan negera berkembang juga tak ketinggalan mengikuti jejak The Rocky Mountains dan The Washington Post yang telah tumbang.

Sebut saja yang terakhir adalah Koran Tempo Minggu dan Sinar Harapan yang resmi ti­dak terbit per 1 Januari 2016. Mengapa demikian? Alasannya sederhana. Anda pasti tau, dulu kita kalau bangun tidur dengan ditemani sejuknya pagi pasti setiap orang langsung menikmati hangatnya kopi sambil membuka setiap lembaran Koran yang menyajikan berita actual. Namun dunia berubah, kebiasaan bangun tidu seperti itu telah tergantikan dengan adanya smart phone. Jika dulu di pagi hari orang menikati kopi sambil baca Koran, tapi justru sekarng beda. Bangun tidur setiap kita sudah langsung membuka jendela internet memlalui smart phone ataupun leptop dengan lebih udah dan sesuka hati kita menjelajah dan memperoleh banyak informasi. Inilah alasannya.
 
Alasan mengapa orang lebih memilih smart phone ketimbang Koran edisi cetak? Setidaknya bagi genarsi baru. Tumbangnya Koran di sejumlah negara maju juga terjadi karena fenomena semakin banyaknya orang beralih ke media elektronik televisi dan internet yang dirasa lebih efektif dan efisien. Untuk mengetahui berita-berita terbaru, hampir setiap jam dan menit televisi-televisi nasional dan portal berita online menyajikan breaking news dengan acara-acara hiburan yang kian menarik.
Demikian juga melalui mbah Google, segala berita dan artikel yang kita butuhkan untuk berbagai kebutuhan bisa langsung diakses secara cepat, murah dan mudah dengan jangkauan pembaca yang lebih besar dan luas. Apapun jenis artikel di berbagai bidang dari politik, ekonomi, seni, budaya, entertainment dan lain-lain, kesemuanya juga bisa diakses dengan mudah lewat internet.

Lain informasi, untuk mencari motor bekas misalnya, barang-barang antik, jasa antar jemput, obat-obatan, sewa hotel, sewa mobil, biro jodoh dan bahkan dokter online dengan cepat bisa diakses melalui internet, tanpa harus bersusah-payah kita melototi  iklan-iklan baris yang kecil-kecil itu di media cetak. Inilah perubahan besar di abad 21. Adalah sebuah revolusi industri ke empat: ekonomi kreatif berupa era teknologi digital.
Memang, perubahan besar me­lingkupi dunia memasuki awal abad 20 ini. 

Berkat kemajuan transportasi dan ko­munikasi yang begitu pesat berdam­pak luas dan massif bagi kehidupan umat manusia kontemporer. Yang nyata semua orang menjadi semakin dekat, bisa saling mengenal dan mengetahui kabar satu dengan yang lainnya dengan mudah. Untuk mengetahui apa yang terjadi yang ada di inggris dan belahan dunia manapun cukup dengan kita dikamar. Peristiwa-peristiwa yang terjadi di negara yang satu pun langsung bisa diakses di negara-negara lain, baik lewat tayangan media elektronik televisi maupun internet.

Catatan, Juli 2016.

Belajar pada Tragedi Brexit (Brebes Exit)

Oleh: Wahyudi*

Selesai sudah pertunjukan mudik, jalanan kembali sepi setelah sebelumnya diramaikan lalu lalang para pemudik. Yakni sebuah fenomena migrasi terbesar di dunia: kota mengejar desa dan desa mengejar kota, inilah mudik. Fenomena  arus mudik dan arus balik lebaran menjadi rutinitas-ritual di negeri ini. Di negeri ini ada yang menarik dan selalu menjadi berita “seksi” pada setiap momen arus mudik-balik, saking  menarik dan “seksinya” hingga mampu menarik perhatian media inggris untuk meliput dan memberitakannya menjadi berita internasional yang dibaca oleh masyarakat eropa, amerika dan masyarakat dunia lainnya.

Apa itu yang menarik? Adalah “kemacetan”. Ya, hingga tahun ini kemacetan menjadi momok dan problem tersendiri bagi negeri ini. Mudik menjadi urusan semua orang. Jika sudah menjadi urusan semua orang, maka persoalan itu juga menjadi urusan negara.  Akhirnya negara memiliki tanggungjawab vital dengan segala kekuatan yang dimiliki untuk “mengurusi”  hajatan mudik yang kini sudah menjadi hajat orang banyak. Para pemikir dan sosiolog pun tak ketinggalan kebingunan, bahwa mudik lebaran apakah sebuah ritus yang tidak jelas identitasnya apakah sebuah keajaiban fenomena  agama, sosial atau budaya. Yang jelas dan nyata bahwa mudik juga sebagai fenomena ekonomi besar .

Lalu pada ritual mudik tahun ini kita diributkan oleh “Brexit”. Apa itu brexit? Brexit telah menjadi saksi sejarah mudik tahun ini yang menyisakan duka, pengalaman pahit dan cermin buruknya pengalaman mudik tahun ini. Sebenarnya, awalnya kata Brexit itu merupakan  istilah dari “British Exit” yang merupakan sebutan bagi keputusan sejarah inggris untuk keluar dari keanggotaan di Uni Eropa. Sebuah keputusan besar bagi sejarah eropa dan dunia yang menuai pro dan kontra.

Sedangkan maksud “Brexit” disini adalah sama sekali berbeda dengan Brexit yang di inggris. Di Indonesia Brexit adalah sebutan Brebes Exit yang merupakan sebutan gerbang keluar jalan tol Brebes Jawa Tengah. Di Brexit inilah menyisahkan pengalaman pahit bagi para pemudik tahun ini. Seperti kita ketahui, disana telah terjadi kemacetan ektrim yang parah. Kendaraan terjebak dalam pusaran kemacetan hingga tak kuasa bergerak selama lebih dari 24 jam. Bahkan media internasional pun menyebut sebagai kemacetan terparah di dunia.

Atas pristiwa ini pula telah memakan korban tewas sebanyak 12 orang akibat kelelahan akibat kemacetan yang begitu panjang dan lama. Sebagian pengendara juga hingga ada yang depresi dan keluar dari mobilnya hingga bertriak-triak saking tak kuasa memendam  rasa stress berat yang mendera selama terjebak dan berjibaku di tengah kemacetan parah.

Mudik menjadi salah satu parameter penting mengukur kinerja pemerintah. Mudik yang kacau, infrastruktur yang tak memadai, kemacetan yang terus terjadi, dan tingginya angka kecelakaan akan menjadi catatan buruk kinerja pemerintah. Dan tragedi “Brexit” menjadi catatan sejarah bagi kinerja pemerintah tahun ini. Sekalipun kita mengakui bahwa di tahun ini terlihat ada peningkatan perbaikan manajemen dari pemerintah. Meskipun kenyataannya masih pahit dan belum membanggakan.

Secara umum setidaknya ada sejumlah faktor yang membuat tradisi mudik selalu diwarnai insiden kemacetan. Hingga seolah kita tak mampu keluar dari masalah: “Problem Exit’. Pertama, mungkin solusi yang diterapkan pemerintah masih ada yang harus diperbaiki. Sejauh ini sesungguhnya pemerintah belum menemukan “cara” yang mampu menangani permasalahan.

Karena itu, kemacetan berjam-jam di Brebes Timur, masyarakat menamainya ‘Brexit’ (Brebes exit), menjadi noda dari seluruh keseriusan pemerintah. Bayangkan, untuk Jakarta-Wangon, Banyumas, yang berjarak 400 km, pemudik harus menempuh lebih dari 40 jam. Kemacetan itu menjadi ironi justru ketika Tol Cipali telah diresmikan dan menyusul peresmian Tol Pejagan- Brebes Timur pertengahan bulan lalu. Brebes Timur kali ini menjadi momok bagi para pemudik lintas tengah dan pantura. Padahal, itu sesuatu yang bisa diprediksi dan diantisipasi, yakni bertemunya jalur tol dan ruas pantura dengan kondisi jalan yang lebih sempit. Mudik aman dan nyaman ialah hak masyarakat. Kewajiban pemerintah menyediakan infrastruktur dan penjagaan memadai. (Djadjat Sudradjat: 2016).

Selain atas faktor diatas, kita juga tak pungkiri bahwa masih banyak ditemui pengendara yang tidak tertib lalu lintas. Dan yang tak kalah pentingnya adalah infrastruktur jalur mudik yang tidak bisa menampung tingginya volume kepadatan kendaraaan yang terus bertambah. Selama jumlah kendaraan tak bisa di tekan di negeri ini, maka sampai kapanpun, bisa jadai kemecetan akan selalu menjadi mimpi buruk bagi masa depan mudik anak cucu kita.


Kemacetan di Brebes, sungguh, sebuah gerak mundur kehendak perbaikan pelayanan mudik. Ia luput dari seluruh kalkulasi antisipasi. Kita ingin tragedi “Brexit” tak terulang di mudik tahun depan dan seterusnya. Muduk adalah kebutuhan, menjadi hajat besar bangsa. Tak berlebihan disini jika hajatan mudik juga setara dengan hajatan pemilu. Maka tak heran apa yang dikata pak Djadjat Sudradjat bahwa ada sebuah perkiraan sekitar Rp125 triliun uang dibelanjakan untuk urusan mudik dan Idul Fitri 2016 ini. Angka yang tidak sedikit, setara seluruh uang yang dibelanjakan berkaitan hajatan politik bernama Pemilu 2014 lalu.

Diterbitkan di Harian Radar Cirebon, Edisi Cetak 13 Juli 2016.