Rabu pagi sekali, adalah hari dimana istana Negara banyak menuai spekulasi publik. Pagi dimana para menteri di panggil mendadak oleh sang presiden Jokowi.Di tengah kencangnaya pengumbaran isu reshuffle kabinet dalam sepekan terakhir ini. Wajar jika kemudian publik mengkorelasikan pemanggilan sejumlah menteri itu dengan isu reshuffle. Reshuffle atau perombakan kabinet selalu menjadi isu yang menarik jika kita mencermati persoalan yang sebenarnya yang dialami pemerintah. Di rombak atau tidaknya susunan kabinet ini kita layak menyimak dan harus memandang sebagai isu yang penting mengingat soal reshuffle merupakan sebuah pertaruhan bagi perjalanan negara dan bangsa.
Pertama, menurut pengamat politik Qodari bahwa dalam menjalankan
program-program pembangunan setidaknya ada empat unsur yang menjadi pilar
penyangga Presiden, yakni parlemen, kabinet, TNI, dan Polri. Soal dukungan
parpol di parlemen sudah tidak ada masalah karena mayoritas parpol sudah
mendukung Jokowi. Masuknya PAN, Golkar, dan PPP sebagai partai politik (parpol)
pendukung pemerintah adalah sebuah bentuk modal penting. Di saat yang sama TNI
dan Polri juga dinilai sudah solid. Fakta terakhir, pergantian Kapolri berjalan
dengan sangat mulus. Sehingga yang belum beres adalah persoalan komposisi
kabinet. Oleh sebab itu, wajar jika sekarang ada pendapat bahwa sekaranglah
waktunya (melakukan reshuffle).
Kedua, kita sepakat dalam sisitem
presidensial, reshuffle sepenuhnya adalah hak prerogatif presiden. Demi kinerja
kabinet yang lebih baik, tidak ada salahnya jika harus dilakukan perombakan
susunan kabinet. Presiden memegang hak untuk melakukan perombakan demi mencapai
program pembangunanya. Bagaimanapun kita menghormati langkah bijak Jokowi. Yang
paling penting adalah, Presiden Jokowi harus tegas bahwa dirinya dalam hal
reshuffle tidak mau di intervensi oleh siapa pun. Sikap ini diperlukan untuk
menegaskan dalam konteks menjaga nafas dan sistem pemerintahan presidensial.
Biarkanlah Presiden dengan
otoritasnya memikirkan, memilih, dan menentukan siapa yang akan disisikan dan
yang akan diangkat dalam perombakan kabinetnya. Bagaimanapun reshuffle adalah
wilayah kebijakan Presiden, bukan urusan kekuatan yang lain. Kita harus bijak
dan memberikan ruang kepada sang Presiden Jokowi untuk memilih sendiri sosok
professional yang ahli dibidangnya untuk menjadi menteri.
Kita tentu tidak ingin presiden termakan oleh “giringan”
propaganda negatif elite parpol (partai politik). Maka ditengah santernya gosip
reshuffle ini alangkah baiknya Jokowi juga mau mencermati “grasak-grusuk” para elite politik yang memiliki agenda memaksa
reshuffle kabinet. Disinilah sejatinya presiden Jokowi harus mandiri dan tidak
boleh takut terhadap intervrensi elite parpol yang selama ini memang memiliki
ambisi reshuffle (yang sejatinya diluar kepentingan publik). Kita ingin langkah
jokowi dalam mereshuffle kabinet benar-benar dari nurani diri, inisiatif dan
independensi dirinya.
***
Jika
memang benar reshuffle itu dilakukan, sosok yang harus dijadikan pertimbangan
sejatinya mereka yang memiliki kapabilitas di bidangnya. Bukan karena atas
dorongan dan tekanan dari kekuatan politik tertentu dan atas dasar “politik
balas budi” kepada mereka yang memiliki kedekatan posisi politik terhadap
pemerintah. Sekalipun keinginan semua kekuatan
parpol pada akses kekuasaan, Presiden Jokowi harus bekerja sama untuk
memaksimalkan posisi kepentingan rakyat dalam melakukan agenda reshufflenya.
Seandainya salah satu kementerian dipastikan untuk jatah partai tertentu,
tetapi dengan catatan tetap yang mengisinya haruslah sosok yang profesional di
bidangnya.
Kita ingin langkah
reshuffle bukan berangkat dari nafsu dan ambisi golongan politik tertentu.
Tetapi berangkat dari langkah objektif dan wujud progresif dalam memperbaiki
kinerja pemerintah demi pelaksanaan program pembangunan rakyat yang lebih baik.
Kepuutusan reshuffle adalah urusan semua orang, sebab persoalan ini menyangkut
pertaruhan penting kehidupan (pembangunan) bangsa dan negara. Jika alasannya
untuk memperbaiki kinerja pemerintah maka bagaimanapun publik tentu sangat
mendukung.
Kita masih ingat
bagaimana soal daging sapi yang hingga hari ini menjadi persoalan yang tidak
pernah bisa tuntas diselesaikan oleh pemerintah. Belum lagi persoalan mudik dan
yang lainnya. Dengan sejumlah contoh persoalan inilah resfhuffle haruslah ‘mengena’
pada sejumlah menteri yang memang dianilai belum baik kinerjanya. Namun jika
ternyata menteri itu memiliki kinerja baik, sekalipun tidak memiliki dukungan
politik maka tidak elok rasanya jika kemudain ternyata menjadi korban
reshuffle. Oleh sebab itulah reshuffle harus didasarkan pada objektifitas,
bukan didasarkan pada pertimbangan yang berbau politik. Atau dengan kata lain,
reshuffle semata untuk dan demi kepentingan rakyat.
Kita ingin, jangan sampai keributan menuju reshuffle justru
merugikan langkah negeri ini yang ingin terus maju dan baik. Reshuffle jelas
boleh, sangat boleh, tapi harus untuk rakyat Indonesia yang lebih baik. Pergantian
menteri yang tidak perform seharusnya
tidak didasarkan atas hasrat politik terhadap kepentingan pendukung koalisi
pemerintah. Jika reshuffle pertama tidak menghasilkan capaian kinerja yang
maksimal. Maka pergantian menteri sebaiknya bisa dilakukan lagi.
Menteri-menteri yang sudah tidak mumpuni sudah waktunya untuk diganti.
Keputusan ini memang amat penting jika ingin kondisi yang jauh dari ekspektasi
ini mau segera diakhiri. Sekali lagi
kita menunggu langkah bijak Jokowi.[]
Artikel ini diterbitkan di Harian Tribun Senin 18 Juli 2016.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar