Untuk menggambarkan kecanduan dan ketergantungan masyarakat modern era digital terhadap gawai atau internet kiranya tepat jika kita meminjam terminology slogan “aku berfikir, maka aku ada” atau dalam bahasa latinnya "Cogito ergo sum", adalah pernyataan seorang filsuf besar Descartes yang menggambarkan bahwa seseorang akan berada dalam kesadaran ketika ia berfikir. Atau ketika aku berfikir maka aku ada. Namun sebaliknya, jika seseorang tidak menggunakan fikirannya, maka ia pun berada dalam ketidaksadaran.
Slogan filsuf tersebut sepertinya berlaku pula dengan
kehidupan manusia modern yang aktivitas kesehariannya selalu tidak lepas dari
gawai atau teknologi digital dengan berbagai aplikasi yang menyihir kita,
terutama seperti aplikasi game. Kita merasa kehilangan sesuatu jika satu jam
saja tidak berselancar di internet, entah itu bermain di media sosial, game
online atau sekedar pemenuhan hobi searching informasi. Ada kehampaan yang
mendalam didalam fikiran dan sanubari kita. Persanaan inilah yang kiranya
menggambarkan slogan manusia modern era digital yakni “aku online maka aku
ada”. Jika aku tak online, maka aku hampa dan gunda gulana.
Di era teknologi digital yang berkembang pesat
sebagai konsekuensi perkembangan sains dan tekologi informasi telah merubah
banyak tata budaya peradaban manusia. Fenomena kecanggihan teknologi yang terus
bermunculan sesungguhnya juga menyisakan problem yang menjelma menjadi
persoalan kompleks masyarakat modern. Dengan kemajuan teknologi informasi,
dimana dewasa ini setiap orang memiliki gawai (smart phone) yang menjadikan
kita sibuk dengan dunianya sendiri, sehingga benarlah bahwa semakin kebelakang
kemajuan teknologi menjadikan manusia semakin individualis dan semakin
terkikisnya interaksi sosial.
Terkait kasus kemajuan teknologi, baru-baru ini kita
dikagetkan oleh rilis mobile game yang bernama Pokemon GO. Di Harian Radar
Cirebon edisi minggu (17 Juli 2016) kemarin memuat berita Pokemon GO di halaman
utamanya. Pokemon GO yang dirilis sejak Juli lalu di AS, Australia dan Selandia
baru serta 13 Juli di Eropa adalah permainan canggih terkini yang kehadirannya
bahkan mampu menggeser popularitas media sosial mainstream yang banyak digemari
penikmat online seperti Instagram dan medosos popular lainnya.
Disebutkan bahwa keunikan game yang dirilis oleh Niantic Labs dan The Pokemon Company itu
pemain diharuskan bergerak atau berjalan dengan bantuan teknologi GPS.
Teknologi augmented reality (AR), yang membuat pemain bisa melihat pokemon di
layar smartphone seolah berada di dunai nyata, menjadi magnet tersendiri. Ada
beberapa hal yang membuat pokemon GO semakin di incar para gamer. Dengan
sisitem GPS , pemain game bisa menemukan pokemon, PokeStop dan gym. Lokasi
ketiganya diwakili sebua landmark di daerah: bisa berupa patung, kantor,
lapangan, taman dan tempat lainnya yang harus dicapai dengan berjalan atau
didekati. Oleh karena itu, ketika kita menemukan sekumpulan orang berada di
satu titik sambil sibuk menggerak-gerakan HP, besar kemungkinan mereka sedang
bermain Pokemon GO.
Game pokemon GO adalah sebuah fenomena perkembangan
teknologi dan manusia modern yang patut kita cermati. Dalam perspektif
sosiologis pascamoderenisme, sosiolog Jean Baudrillard, Pokemon GO telah
menciptakan sebentuk simulacra. Yang dimaksud simulakra adalah mekanisme ruang
dimana simulasi (dalam hal ini perburaun pokemon) dilangskungkan. Merujuk pada
simulasi karya Baudrillard, Pokemon GO bisa dikategorikan simulacra yang lahir
sebagai konsekuensi perkembangan sain dan teknologi komunikasi. Dalam hal ini
simulakra menjadi lahan segala silang sengkarut tanda, citra dan simbol budaya.
Dalam mekanisme simulasi itu, manusia terjebak dalam realitas yang dianggap
nyata. Padahal sesungguhnya semuanya semu dan penuh rekayasa. (Hidayat: 2012 dalam Udji Kayang A Supriyanto:
2016).
Sesungguhnya fenomena ketergantungan manusia modern
terhadap kecanggihan game hanyalah mendapatkan kepuasan semu (hampa) didalam layar gawai yang kita terus plototi
sambil menunduk melihat gawai. Sehingga dalam kondisi demikain manusia akan
terus terkungkung dalam dunia imajiner yang jauh dari realitas yang sebenarnya.
Fenomena Pokemon GO, jika serta merta dibiarkan sebagai fenomena yang dianggap
kewajaran budaya modern, bisa jadi akan menjadi problem perkotaan (peradaban) masa
depan. Dengan kehadiran Pokemon GO ini, bisa kita bayangkan, bagaimana jika
masyarakat urban kota beramai-ramai menggunakannya. Setiap orang akan berjalan sendiri-sendiri
sambil menunduk focus memperhatikan layar smartphone. Terus sibuk berjalan, sesekali berjoget
keasyikan, tanpa memedulikan lingkungan sekitar. Jika demikian kondisinya, maka
sempurnalah tipe manusia perkotaan yang memiliki sifat individualis dan egois.
Catatan ini ditulis pada 17 Juli 2016, sebagai refleksi sosiologis.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar