Minggu, 17 Juli 2016

Fenomena Pokemon: Aku Online, Maka Aku Ada

Oleh: Wahyudi

Untuk menggambarkan kecanduan dan ketergantungan masyarakat modern era digital terhadap gawai atau internet kiranya tepat jika kita meminjam terminology slogan “aku berfikir, maka aku ada” atau dalam bahasa latinnya "Cogito ergo sum", adalah pernyataan seorang filsuf besar Descartes yang menggambarkan bahwa seseorang akan berada dalam kesadaran ketika ia berfikir. Atau ketika aku berfikir maka aku ada. Namun sebaliknya, jika seseorang tidak menggunakan fikirannya, maka ia pun berada dalam ketidaksadaran. 

Slogan filsuf  tersebut sepertinya berlaku pula dengan kehidupan manusia modern yang aktivitas kesehariannya selalu tidak lepas dari gawai atau teknologi digital dengan berbagai aplikasi yang menyihir kita, terutama seperti aplikasi game. Kita merasa kehilangan sesuatu jika satu jam saja tidak berselancar di internet, entah itu bermain di media sosial, game online atau sekedar pemenuhan hobi  searching informasi. Ada kehampaan yang mendalam didalam fikiran dan sanubari kita. Persanaan inilah yang kiranya menggambarkan slogan manusia modern era digital yakni “aku online maka aku ada”. Jika aku tak online, maka aku hampa dan gunda gulana.

Di era teknologi digital yang berkembang pesat sebagai konsekuensi perkembangan sains dan tekologi informasi telah merubah banyak tata budaya peradaban manusia. Fenomena kecanggihan teknologi yang terus bermunculan sesungguhnya juga menyisakan problem yang menjelma menjadi persoalan kompleks masyarakat modern. Dengan kemajuan teknologi informasi, dimana dewasa ini setiap orang memiliki gawai (smart phone) yang menjadikan kita sibuk dengan dunianya sendiri, sehingga benarlah bahwa semakin kebelakang kemajuan teknologi menjadikan manusia semakin individualis dan semakin terkikisnya interaksi sosial.

Terkait kasus kemajuan teknologi, baru-baru ini kita dikagetkan oleh rilis mobile game yang bernama Pokemon GO. Di Harian Radar Cirebon edisi minggu (17 Juli 2016) kemarin memuat berita Pokemon GO di halaman utamanya. Pokemon GO yang dirilis sejak Juli lalu di AS, Australia dan Selandia baru serta 13 Juli di Eropa adalah permainan canggih terkini yang kehadirannya bahkan mampu menggeser popularitas media sosial mainstream yang banyak digemari penikmat online seperti Instagram dan medosos popular lainnya.

Disebutkan bahwa keunikan game yang dirilis oleh  Niantic Labs dan The Pokemon Company itu pemain diharuskan bergerak atau berjalan dengan bantuan teknologi GPS. Teknologi augmented reality (AR), yang membuat pemain bisa melihat pokemon di layar smartphone seolah berada di dunai nyata, menjadi magnet tersendiri. Ada beberapa hal yang membuat pokemon GO semakin di incar para gamer. Dengan sisitem GPS , pemain game bisa menemukan pokemon, PokeStop dan gym. Lokasi ketiganya diwakili sebua landmark di daerah: bisa berupa patung, kantor, lapangan, taman dan tempat lainnya yang harus dicapai dengan berjalan atau didekati. Oleh karena itu, ketika kita menemukan sekumpulan orang berada di satu titik sambil sibuk menggerak-gerakan HP, besar kemungkinan mereka sedang bermain Pokemon GO. 

Game pokemon GO adalah sebuah fenomena perkembangan teknologi dan manusia modern yang patut kita cermati. Dalam perspektif sosiologis pascamoderenisme, sosiolog Jean Baudrillard, Pokemon GO telah menciptakan sebentuk simulacra. Yang dimaksud simulakra adalah mekanisme ruang dimana simulasi (dalam hal ini perburaun pokemon) dilangskungkan. Merujuk pada simulasi karya Baudrillard, Pokemon GO bisa dikategorikan simulacra yang lahir sebagai konsekuensi perkembangan sain dan teknologi komunikasi. Dalam hal ini simulakra menjadi lahan segala silang sengkarut tanda, citra dan simbol budaya. Dalam mekanisme simulasi itu, manusia terjebak dalam realitas yang dianggap nyata. Padahal sesungguhnya semuanya semu dan penuh rekayasa. (Hidayat: 2012 dalam Udji Kayang A Supriyanto: 2016).

Sesungguhnya fenomena ketergantungan manusia modern terhadap kecanggihan game hanyalah mendapatkan kepuasan semu (hampa)  didalam layar gawai yang kita terus plototi sambil menunduk melihat gawai. Sehingga dalam kondisi demikain manusia akan terus terkungkung dalam dunia imajiner yang jauh dari realitas yang sebenarnya. Fenomena Pokemon GO, jika serta merta dibiarkan sebagai fenomena yang dianggap kewajaran budaya modern, bisa jadi akan menjadi problem perkotaan (peradaban) masa depan. Dengan kehadiran Pokemon GO ini, bisa kita bayangkan, bagaimana jika masyarakat urban kota beramai-ramai menggunakannya.  Setiap orang akan berjalan sendiri-sendiri sambil menunduk focus memperhatikan layar smartphone.  Terus sibuk berjalan, sesekali berjoget keasyikan, tanpa memedulikan lingkungan sekitar. Jika demikian kondisinya, maka sempurnalah tipe manusia perkotaan yang memiliki sifat individualis dan egois.

Catatan ini ditulis pada 17 Juli 2016, sebagai refleksi sosiologis.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar