Oleh: Wahyudi*
Selesai sudah pertunjukan mudik,
jalanan kembali sepi setelah sebelumnya diramaikan lalu lalang para pemudik. Yakni
sebuah fenomena migrasi terbesar di dunia: kota mengejar desa dan desa mengejar
kota, inilah mudik. Fenomena arus mudik
dan arus balik lebaran menjadi rutinitas-ritual di negeri ini. Di negeri ini
ada yang menarik dan selalu menjadi berita “seksi” pada setiap momen arus
mudik-balik, saking menarik dan
“seksinya” hingga mampu menarik perhatian media inggris untuk meliput dan
memberitakannya menjadi berita internasional yang dibaca oleh masyarakat eropa,
amerika dan masyarakat dunia lainnya.
Apa itu yang menarik? Adalah
“kemacetan”. Ya, hingga tahun ini kemacetan menjadi momok dan problem
tersendiri bagi negeri ini. Mudik menjadi urusan semua orang. Jika sudah
menjadi urusan semua orang, maka persoalan itu juga menjadi urusan negara. Akhirnya negara memiliki tanggungjawab vital
dengan segala kekuatan yang dimiliki untuk “mengurusi” hajatan mudik yang kini sudah menjadi hajat
orang banyak. Para pemikir dan sosiolog pun tak ketinggalan kebingunan, bahwa
mudik lebaran apakah sebuah ritus yang tidak jelas identitasnya apakah sebuah
keajaiban fenomena agama, sosial atau
budaya. Yang jelas dan nyata bahwa mudik juga sebagai fenomena ekonomi besar .
Lalu pada ritual mudik tahun ini kita
diributkan oleh “Brexit”. Apa itu brexit? Brexit telah menjadi saksi sejarah mudik
tahun ini yang menyisakan duka, pengalaman pahit dan cermin buruknya pengalaman
mudik tahun ini. Sebenarnya, awalnya kata Brexit itu merupakan istilah dari “British Exit” yang merupakan
sebutan bagi keputusan sejarah inggris untuk keluar dari keanggotaan di Uni
Eropa. Sebuah keputusan besar bagi sejarah eropa dan dunia yang menuai pro dan
kontra.
Sedangkan maksud “Brexit” disini adalah
sama sekali berbeda dengan Brexit yang di inggris. Di Indonesia Brexit adalah
sebutan Brebes Exit yang merupakan sebutan gerbang keluar jalan tol Brebes Jawa
Tengah. Di Brexit inilah menyisahkan pengalaman pahit bagi para pemudik tahun
ini. Seperti kita ketahui, disana telah terjadi kemacetan ektrim yang parah.
Kendaraan terjebak dalam pusaran kemacetan hingga tak kuasa bergerak selama
lebih dari 24 jam. Bahkan media internasional pun menyebut sebagai kemacetan
terparah di dunia.
Atas pristiwa ini pula telah memakan
korban tewas sebanyak 12 orang akibat kelelahan akibat kemacetan yang begitu
panjang dan lama. Sebagian pengendara juga hingga ada yang depresi dan keluar
dari mobilnya hingga bertriak-triak saking tak kuasa memendam rasa stress berat yang mendera selama
terjebak dan berjibaku di tengah kemacetan parah.
Mudik menjadi salah satu parameter
penting mengukur kinerja pemerintah. Mudik yang kacau, infrastruktur yang tak
memadai, kemacetan yang terus terjadi, dan tingginya angka kecelakaan akan
menjadi catatan buruk kinerja pemerintah. Dan tragedi “Brexit” menjadi catatan
sejarah bagi kinerja pemerintah tahun ini. Sekalipun kita mengakui bahwa di
tahun ini terlihat ada peningkatan perbaikan manajemen dari pemerintah.
Meskipun kenyataannya masih pahit dan belum membanggakan.
Secara umum setidaknya ada sejumlah
faktor yang membuat tradisi mudik selalu diwarnai insiden kemacetan. Hingga
seolah kita tak mampu keluar dari masalah: “Problem Exit’. Pertama, mungkin
solusi yang diterapkan pemerintah masih ada yang harus diperbaiki. Sejauh ini
sesungguhnya pemerintah belum menemukan “cara” yang mampu menangani
permasalahan.
Karena itu, kemacetan berjam-jam di
Brebes Timur, masyarakat menamainya ‘Brexit’ (Brebes exit),
menjadi noda dari seluruh keseriusan pemerintah. Bayangkan, untuk
Jakarta-Wangon, Banyumas, yang berjarak 400 km, pemudik harus menempuh lebih
dari 40 jam. Kemacetan itu menjadi ironi justru ketika Tol Cipali telah
diresmikan dan menyusul peresmian Tol Pejagan- Brebes Timur pertengahan bulan
lalu. Brebes Timur kali ini menjadi momok bagi para pemudik lintas tengah dan
pantura. Padahal, itu sesuatu yang bisa diprediksi dan diantisipasi, yakni
bertemunya jalur tol dan ruas pantura dengan kondisi jalan yang lebih sempit.
Mudik aman dan nyaman ialah hak masyarakat. Kewajiban pemerintah menyediakan
infrastruktur dan penjagaan memadai. (Djadjat Sudradjat: 2016).
Selain atas faktor diatas, kita juga
tak pungkiri bahwa masih banyak ditemui pengendara yang tidak tertib lalu
lintas. Dan yang tak kalah pentingnya adalah infrastruktur jalur mudik yang
tidak bisa menampung tingginya volume kepadatan kendaraaan yang terus
bertambah. Selama jumlah kendaraan tak bisa di tekan di negeri ini, maka sampai
kapanpun, bisa jadai kemecetan akan selalu menjadi mimpi buruk bagi masa depan
mudik anak cucu kita.
Kemacetan di Brebes, sungguh, sebuah
gerak mundur kehendak perbaikan pelayanan mudik. Ia luput dari seluruh
kalkulasi antisipasi. Kita ingin tragedi “Brexit” tak terulang di mudik tahun
depan dan seterusnya. Muduk adalah kebutuhan, menjadi hajat besar bangsa. Tak
berlebihan disini jika hajatan mudik juga setara dengan hajatan pemilu. Maka
tak heran apa yang dikata pak Djadjat Sudradjat bahwa ada sebuah perkiraan
sekitar Rp125 triliun uang dibelanjakan untuk urusan mudik dan Idul Fitri 2016
ini. Angka yang tidak sedikit, setara seluruh uang yang dibelanjakan berkaitan
hajatan politik bernama Pemilu 2014 lalu.
Diterbitkan di Harian Radar Cirebon, Edisi Cetak 13 Juli 2016.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar