Rabu, 13 Juli 2016

Belajar pada Tragedi Brexit (Brebes Exit)

Oleh: Wahyudi*

Selesai sudah pertunjukan mudik, jalanan kembali sepi setelah sebelumnya diramaikan lalu lalang para pemudik. Yakni sebuah fenomena migrasi terbesar di dunia: kota mengejar desa dan desa mengejar kota, inilah mudik. Fenomena  arus mudik dan arus balik lebaran menjadi rutinitas-ritual di negeri ini. Di negeri ini ada yang menarik dan selalu menjadi berita “seksi” pada setiap momen arus mudik-balik, saking  menarik dan “seksinya” hingga mampu menarik perhatian media inggris untuk meliput dan memberitakannya menjadi berita internasional yang dibaca oleh masyarakat eropa, amerika dan masyarakat dunia lainnya.

Apa itu yang menarik? Adalah “kemacetan”. Ya, hingga tahun ini kemacetan menjadi momok dan problem tersendiri bagi negeri ini. Mudik menjadi urusan semua orang. Jika sudah menjadi urusan semua orang, maka persoalan itu juga menjadi urusan negara.  Akhirnya negara memiliki tanggungjawab vital dengan segala kekuatan yang dimiliki untuk “mengurusi”  hajatan mudik yang kini sudah menjadi hajat orang banyak. Para pemikir dan sosiolog pun tak ketinggalan kebingunan, bahwa mudik lebaran apakah sebuah ritus yang tidak jelas identitasnya apakah sebuah keajaiban fenomena  agama, sosial atau budaya. Yang jelas dan nyata bahwa mudik juga sebagai fenomena ekonomi besar .

Lalu pada ritual mudik tahun ini kita diributkan oleh “Brexit”. Apa itu brexit? Brexit telah menjadi saksi sejarah mudik tahun ini yang menyisakan duka, pengalaman pahit dan cermin buruknya pengalaman mudik tahun ini. Sebenarnya, awalnya kata Brexit itu merupakan  istilah dari “British Exit” yang merupakan sebutan bagi keputusan sejarah inggris untuk keluar dari keanggotaan di Uni Eropa. Sebuah keputusan besar bagi sejarah eropa dan dunia yang menuai pro dan kontra.

Sedangkan maksud “Brexit” disini adalah sama sekali berbeda dengan Brexit yang di inggris. Di Indonesia Brexit adalah sebutan Brebes Exit yang merupakan sebutan gerbang keluar jalan tol Brebes Jawa Tengah. Di Brexit inilah menyisahkan pengalaman pahit bagi para pemudik tahun ini. Seperti kita ketahui, disana telah terjadi kemacetan ektrim yang parah. Kendaraan terjebak dalam pusaran kemacetan hingga tak kuasa bergerak selama lebih dari 24 jam. Bahkan media internasional pun menyebut sebagai kemacetan terparah di dunia.

Atas pristiwa ini pula telah memakan korban tewas sebanyak 12 orang akibat kelelahan akibat kemacetan yang begitu panjang dan lama. Sebagian pengendara juga hingga ada yang depresi dan keluar dari mobilnya hingga bertriak-triak saking tak kuasa memendam  rasa stress berat yang mendera selama terjebak dan berjibaku di tengah kemacetan parah.

Mudik menjadi salah satu parameter penting mengukur kinerja pemerintah. Mudik yang kacau, infrastruktur yang tak memadai, kemacetan yang terus terjadi, dan tingginya angka kecelakaan akan menjadi catatan buruk kinerja pemerintah. Dan tragedi “Brexit” menjadi catatan sejarah bagi kinerja pemerintah tahun ini. Sekalipun kita mengakui bahwa di tahun ini terlihat ada peningkatan perbaikan manajemen dari pemerintah. Meskipun kenyataannya masih pahit dan belum membanggakan.

Secara umum setidaknya ada sejumlah faktor yang membuat tradisi mudik selalu diwarnai insiden kemacetan. Hingga seolah kita tak mampu keluar dari masalah: “Problem Exit’. Pertama, mungkin solusi yang diterapkan pemerintah masih ada yang harus diperbaiki. Sejauh ini sesungguhnya pemerintah belum menemukan “cara” yang mampu menangani permasalahan.

Karena itu, kemacetan berjam-jam di Brebes Timur, masyarakat menamainya ‘Brexit’ (Brebes exit), menjadi noda dari seluruh keseriusan pemerintah. Bayangkan, untuk Jakarta-Wangon, Banyumas, yang berjarak 400 km, pemudik harus menempuh lebih dari 40 jam. Kemacetan itu menjadi ironi justru ketika Tol Cipali telah diresmikan dan menyusul peresmian Tol Pejagan- Brebes Timur pertengahan bulan lalu. Brebes Timur kali ini menjadi momok bagi para pemudik lintas tengah dan pantura. Padahal, itu sesuatu yang bisa diprediksi dan diantisipasi, yakni bertemunya jalur tol dan ruas pantura dengan kondisi jalan yang lebih sempit. Mudik aman dan nyaman ialah hak masyarakat. Kewajiban pemerintah menyediakan infrastruktur dan penjagaan memadai. (Djadjat Sudradjat: 2016).

Selain atas faktor diatas, kita juga tak pungkiri bahwa masih banyak ditemui pengendara yang tidak tertib lalu lintas. Dan yang tak kalah pentingnya adalah infrastruktur jalur mudik yang tidak bisa menampung tingginya volume kepadatan kendaraaan yang terus bertambah. Selama jumlah kendaraan tak bisa di tekan di negeri ini, maka sampai kapanpun, bisa jadai kemecetan akan selalu menjadi mimpi buruk bagi masa depan mudik anak cucu kita.


Kemacetan di Brebes, sungguh, sebuah gerak mundur kehendak perbaikan pelayanan mudik. Ia luput dari seluruh kalkulasi antisipasi. Kita ingin tragedi “Brexit” tak terulang di mudik tahun depan dan seterusnya. Muduk adalah kebutuhan, menjadi hajat besar bangsa. Tak berlebihan disini jika hajatan mudik juga setara dengan hajatan pemilu. Maka tak heran apa yang dikata pak Djadjat Sudradjat bahwa ada sebuah perkiraan sekitar Rp125 triliun uang dibelanjakan untuk urusan mudik dan Idul Fitri 2016 ini. Angka yang tidak sedikit, setara seluruh uang yang dibelanjakan berkaitan hajatan politik bernama Pemilu 2014 lalu.

Diterbitkan di Harian Radar Cirebon, Edisi Cetak 13 Juli 2016.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar