Oleh
: WAHYUDI
Senin,
31 Agustus 2015 adalah hari yang mengakhiri proses panjang sejarah pembangunan
bendungan Jatigede, Sumedang Jawa Barat. Bendungan Jatigede yang digagas sejak
era presiden Soekarno tahun 1963 itu pada akhirnya bisa terwujud. Pada hari
senin (31/8) waduk Jatigede telah kali pertamanya digenangi air diatas lahan
seluas 4.891. Air yang berasal dari sungai Cimanuk mengalir dan mengisi waduk
Jatigede itu kemudian dipergunakan untuk mengaliri sawah, operasi irigasi,
pembangkit listrik, penanggulangan banjir dan pasokan air baku untuk lima
kota/kabupaten di Jawa Barat.
Bukan
tanpa dampak, sebagai dampak sosialnya, kurang lebih sekitar 10.000 Kepala
Keluarga (KK) di wilayah waduk harus merelakan tempat kelahirannya sebelum air
menggenangi waduk jatigede. Warga ini
merelakan tempat tinggalnya kepada Negara dan sebagai gantinya menerima uang
dan tempat tinggal di lokasi baru.
Disinilah
pengorbanan sejati bagi negeri, pengorbanan yang harus diberikan untuk
tercapainya kehidupan bersama yang lebih baik. Mereka yang mengorbankan tanah
dan tempat tinggalnya adalah pahlawan yang sesungguhnya demi kepentingan bangsa
dan Negara yang jauh lebih besar. Mereka, warga sekitar jatigede memberikan
pembelajaran berharga kepada kita, dimana untuk mencapai tujuan hidup berbangsa
dan bernegara harus dengan pengorbanan demi kepentingan bersama. Hari ini,
tidak semua orang memiliki jiwa kemampuan untuk berkorban demi bangsanya.
Tujuan
yang lebih besar dari penggunaan waduk jatigede pada akhirnya menjadi
tanggungjawab para pemimpin bangsa, setidaknya terlebih dahulu untuk mengganti
pengorbanan yang sudah dibuktikan oleh warga negaranya. Pemimpin bangsa harus
mampu membuktikan wujud berkorabannya untuk tanah air dan bangsanya, dalam hal
ini, mereka para pemimpin bangsa harus menggunakan sebaik betul keberadaan
waduk jatigede sebagaimanan tujuan semula.
BAGI
KEMAKMURAN BANGSA
Dengan
pengelolaan yang baik dan bertanggungjawab. Sejak digagasnya pada setengah abad
yang lalu, tujuan waduk jatigede tak lain pembuatan-nya untuk memberikan kemakmuran
bangsa. Jika ternyata pengelolaan waduk jatigede justru menyimpang dan jauh
dari tanggungjawab, maka pengorbanan yang sudah diberikan oleh warga bangsa
menjadi sia-sia dan hanya mendatangkan kerugian bangsa dan Negara. Disinilah
waduk jatigede menjadi saksi bisu yang akan menyaksikan seberapa besar
pengorbanan yang dikerahkan para pemimpin bangsa selama mengelola air waduknya.
Gagal atau berhasil, waduk jatigede akan menjadi saksi bisunya.
Kita
semua, se-bangsa se-tanah air, mengharapkan pengelolaan dan pemanfaatan waduk
jatigede dilakukan dengan sebaik-baiknya dan selurus-lurusnya bagi kemakmuran
bangsa dan Negara. Disinilah kita harus mengajak seluruh kelompok masyarakat
untuk bisa terus mengawasi perkembanagannya.
Setidaknya
agar manfaat yang diharapkan dapat dinikmati hingga anak cucu kita kelak;
listrik sebesar 110 MW yang dihasilkan waduk itu harus mampu menerangi ribuan
rumah warga sekitar. Air yang dialirkan dan mengalir dari waduk jatigede harus
bisa membuat tanah menjadi tetap subur dan mendatangkan kemakmuran bagi lahan
pertanian produktif, pasokan air bersih yang dapat mencegah warga dari krisis
air. Kawasan waduk jatigede juga kita harapkan mampu menjadi sentra ekonomi
baru, misalnya menjadi kawasan wisata.
BAGI
SWASEMBADA PANGAN
Dengan
pengelolaan waduk yang baik, bukan tidak mungkin tujuan swasembada pangan
nasional saatnya mendekati pada masa depan cerahnya. Dengan air yang diairkan
dari waduk kemudian mengairi ribuan hektar lahan pertanian produktif dapat
membangkitkan kembali kekuatan Jawa barat sebagai lumbung pangan nasional. Waduk
jatigede inilah yang akan menjadi tulang punggungnya. Jika terkelola dengan
baik, hasil dan manfaatnya turut berkontribusi besar bagi pencapaian agenda
swasembada ketahanan pangan nasional. Inilah tugas para pemimpin bangsa.
Bukan
tidak mungkin, bahwa tanpa ditopang waduk yang baik dan memadai maka agenda
pemerintahan Jokowo-JK dalam mencapai target swasembada pangan yang dicanangkan
pada tahun 2018 tidak akan bisa terwujud. Disinilah waduk jatigede menjadi taruhan pemerintahan Jokowi-JK dalam
mewujudkan target dan janjinya kepada rakyat dalam pencapaian swasembada pangan
nasional. Keberhasilan agenda swasembada pangan setidaknya untuk menekan jumlah
impor kurang dari 10 % sebagai syarat bahwa Indonesia dinyatakan telah mampu
berswasembada pangan.
TUGAS
KITA
Dalam pembangunan waduk jatigede
tidak ada salah dan keliru. Hari ini tidak ada yang perlu kita perdebatkan
mengapa bendungan terbesar kedua di Indonesia itu harus dibangun, yang harus
mengorbakan ribuan warga sekitar. Bahkan dari proyek itu ada yang kehilangan
mata pencahariannya dan hilangya lahan pertanian seluas 3.100 hektar yang mampu menghasilkan 80.000 ton
beras per tahun.
Pertama, bahwa
pembangunan waduk jatigede adalah wujud tanggungjawab kita sebagai manusia
dalam mengelolah anugrah yang Allah berikan.
Jawa barat adalah daerah yang diberikan kesuburan oleh Tuhan, dengan
banyaknya sungai, sawah yang terbentang dan potensi lainya yang terpendam.
Disinilah tugas kita untuk mengelolanya, waduk jatigede adalah cara kita dalam
mengelola dan memanfaatkan air sebagai anugrah Allah untuk kepentungan kita
bersama yang lebih besar. Baik untuk menumbuhkan tanaman di lahan pertanian
mapun untuk listrik yang menerangi kita dan untuk anak cucu kita kelak.
Kedua, hari
depan sudah menunggu. Disinilah tantangan datang, tantangan bagaimana agar
waduk jatigede mendatangkan manfaat bagi kehidupan dan kesejahteraan bersama.
Inilah tugas kita. Kita harus menatap masa depan. Bagaimana waduk jatigede
menjadi rahmat bagi sekeliling, terutama sebagai lokomotif penggerak
perekonomian jawa barat yang bermaslahat dan berkah, baik dibidang pertanian
maupun wisata.
Kita
semua, se-bangsa se-tanah air, jiwa raga persembahkan bagi negeri, dari lahir
hingga kita mati, tak akan habis untuk terus mengukir harapan suatu kehidupan
yang lebih baik di negeri kita sendiri, sejahtera merata dirasakan oleh semua
rakyat Indonesia. Waduk jatigede akan menjadi saksi bisu.
Artikel ini diterbitkan di harian Fajar Cirebon Edisi Ectak dan Online, 2015.
Artikel ini diterbitkan di harian Fajar Cirebon Edisi Ectak dan Online, 2015.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar