Sabtu, 12 September 2015

Waduk Jatigede Bagi Negeri



Oleh : WAHYUDI

 
Senin, 31 Agustus 2015 adalah hari yang mengakhiri proses panjang sejarah pembangunan bendungan Jatigede, Sumedang Jawa Barat. Bendungan Jatigede yang digagas sejak era presiden Soekarno tahun 1963 itu pada akhirnya bisa terwujud. Pada hari senin (31/8) waduk Jatigede telah kali pertamanya digenangi air diatas lahan seluas 4.891. Air yang berasal dari sungai Cimanuk mengalir dan mengisi waduk Jatigede itu kemudian dipergunakan untuk mengaliri sawah, operasi irigasi, pembangkit listrik, penanggulangan banjir dan pasokan air baku untuk lima kota/kabupaten di Jawa Barat.

Bukan tanpa dampak, sebagai dampak sosialnya, kurang lebih sekitar 10.000 Kepala Keluarga (KK) di wilayah waduk harus merelakan tempat kelahirannya sebelum air menggenangi waduk jatigede.  Warga ini merelakan tempat tinggalnya kepada Negara dan sebagai gantinya menerima uang dan tempat tinggal di lokasi baru.

Disinilah pengorbanan sejati bagi negeri, pengorbanan yang harus diberikan untuk tercapainya kehidupan bersama yang lebih baik. Mereka yang mengorbankan tanah dan tempat tinggalnya adalah pahlawan yang sesungguhnya demi kepentingan bangsa dan Negara yang jauh lebih besar. Mereka, warga sekitar jatigede memberikan pembelajaran berharga kepada kita, dimana untuk mencapai tujuan hidup berbangsa dan bernegara harus dengan pengorbanan demi kepentingan bersama. Hari ini, tidak semua orang memiliki jiwa kemampuan untuk berkorban demi bangsanya.

Tujuan yang lebih besar dari penggunaan waduk jatigede pada akhirnya menjadi tanggungjawab para pemimpin bangsa, setidaknya terlebih dahulu untuk mengganti pengorbanan yang sudah dibuktikan oleh warga negaranya. Pemimpin bangsa harus mampu membuktikan wujud berkorabannya untuk tanah air dan bangsanya, dalam hal ini, mereka para pemimpin bangsa harus menggunakan sebaik betul keberadaan waduk jatigede sebagaimanan tujuan semula. 

BAGI KEMAKMURAN BANGSA
Dengan pengelolaan yang baik dan bertanggungjawab. Sejak digagasnya pada setengah abad yang lalu, tujuan waduk jatigede tak lain pembuatan-nya untuk memberikan kemakmuran bangsa. Jika ternyata pengelolaan waduk jatigede justru menyimpang dan jauh dari tanggungjawab, maka pengorbanan yang sudah diberikan oleh warga bangsa menjadi sia-sia dan hanya mendatangkan kerugian bangsa dan Negara. Disinilah waduk jatigede menjadi saksi bisu yang akan menyaksikan seberapa besar pengorbanan yang dikerahkan para pemimpin bangsa selama mengelola air waduknya. Gagal atau berhasil, waduk jatigede akan menjadi saksi bisunya.

Kita semua, se-bangsa se-tanah air, mengharapkan pengelolaan dan pemanfaatan waduk jatigede dilakukan dengan sebaik-baiknya dan selurus-lurusnya bagi kemakmuran bangsa dan Negara. Disinilah kita harus mengajak seluruh kelompok masyarakat untuk bisa terus mengawasi perkembanagannya. 

Setidaknya agar manfaat yang diharapkan dapat dinikmati hingga anak cucu kita kelak; listrik sebesar 110 MW yang dihasilkan waduk itu harus mampu menerangi ribuan rumah warga sekitar. Air yang dialirkan dan mengalir dari waduk jatigede harus bisa membuat tanah menjadi tetap subur dan mendatangkan kemakmuran bagi lahan pertanian produktif, pasokan air bersih yang dapat mencegah warga dari krisis air. Kawasan waduk jatigede juga kita harapkan mampu menjadi sentra ekonomi baru, misalnya menjadi kawasan wisata. 

BAGI SWASEMBADA PANGAN
Dengan pengelolaan waduk yang baik, bukan tidak mungkin tujuan swasembada pangan nasional saatnya mendekati pada masa depan cerahnya. Dengan air yang diairkan dari waduk kemudian mengairi ribuan hektar lahan pertanian produktif dapat membangkitkan kembali kekuatan Jawa barat sebagai lumbung pangan nasional. Waduk jatigede inilah yang akan menjadi tulang punggungnya. Jika terkelola dengan baik, hasil dan manfaatnya turut berkontribusi besar bagi pencapaian agenda swasembada ketahanan pangan nasional. Inilah tugas para pemimpin bangsa. 

Bukan tidak mungkin, bahwa tanpa ditopang waduk yang baik dan memadai maka agenda pemerintahan Jokowo-JK dalam mencapai target swasembada pangan yang dicanangkan pada tahun 2018 tidak akan bisa terwujud. Disinilah waduk jatigede menjadi  taruhan pemerintahan Jokowi-JK dalam mewujudkan target dan janjinya kepada rakyat dalam pencapaian swasembada pangan nasional. Keberhasilan agenda swasembada pangan setidaknya untuk menekan jumlah impor kurang dari 10 % sebagai syarat bahwa Indonesia dinyatakan telah mampu berswasembada pangan.

TUGAS KITA
            Dalam pembangunan waduk jatigede tidak ada salah dan keliru. Hari ini tidak ada yang perlu kita perdebatkan mengapa bendungan terbesar kedua di Indonesia itu harus dibangun, yang harus mengorbakan ribuan warga sekitar. Bahkan dari proyek itu ada yang kehilangan mata pencahariannya dan hilangya lahan pertanian seluas 3.100  hektar yang mampu menghasilkan 80.000 ton beras per tahun.

Pertama, bahwa pembangunan waduk jatigede adalah wujud tanggungjawab kita sebagai manusia dalam mengelolah anugrah yang Allah berikan.  Jawa barat adalah daerah yang diberikan kesuburan oleh Tuhan, dengan banyaknya sungai, sawah yang terbentang dan potensi lainya yang terpendam. Disinilah tugas kita untuk mengelolanya, waduk jatigede adalah cara kita dalam mengelola dan memanfaatkan air sebagai anugrah Allah untuk kepentungan kita bersama yang lebih besar. Baik untuk menumbuhkan tanaman di lahan pertanian mapun untuk listrik yang menerangi kita dan untuk anak cucu kita kelak.

Kedua, hari depan sudah menunggu. Disinilah tantangan datang, tantangan bagaimana agar waduk jatigede mendatangkan manfaat bagi kehidupan dan kesejahteraan bersama. Inilah tugas kita. Kita harus menatap masa depan. Bagaimana waduk jatigede menjadi rahmat bagi sekeliling, terutama sebagai lokomotif penggerak perekonomian jawa barat yang bermaslahat dan berkah, baik dibidang pertanian maupun wisata. 

Kita semua, se-bangsa se-tanah air, jiwa raga persembahkan bagi negeri, dari lahir hingga kita mati, tak akan habis untuk terus mengukir harapan suatu kehidupan yang lebih baik di negeri kita sendiri, sejahtera merata dirasakan oleh semua rakyat Indonesia. Waduk jatigede akan menjadi saksi bisu.

Artikel ini diterbitkan di harian Fajar Cirebon Edisi Ectak dan Online, 2015.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar