Oleh; WAHYUDI
Kabut
asap kembali menyelimuti dua pulau terbesar di Indonesia; Sumatera dan
Kalimantan. Setidaknya sebanyak 25,6 juta jiwa terpapar asap. Bukan kali
pertamanya. Asap yang menjadi rutinitas tahunan ini sudah berlangsung dari 18
tahun silam; sejak 1997. Asap yang berasal dari kebakaran hutan dan lahan. Sungguh
tradisi bencana yang ironis.
Tentu
saja ironis dan pastinya membuat geram. Dikatakan ironis sebab bencana itu terus
berlangsung, tidak ada tanda-tanda perbaikan. Kondisinya tetap sama dari tahun
ke tahun, hingga terjadinya pergantian pemerintahan. Membuat geram disebabkan
tradisi bencana itu diluar kewajaran (diluar sunatullah), hal ini terjadi diluar kewajaran sebab dablik bencana itu
ada kepentingan manusia yang tak bertanggungjawab. Baik kelompok maupun
perorangan.
Secara
teknis jangka panjang. Seharusnya dengan waktu yang berlangsung dua dekade itu
menjadi modal belajar untuk bagaimana agar setidaknya bencana kabut asap tidak
terulang lagi, alias diakhiri. Cara untuk mengakhiri inilah yang menjadi
pertanyaan yang harus dijawab oleh pihak yang berwajib (pemerintah)?
Tentu
saja, yang diharapkan adalah cara penyelesaian jangka panjang, bukan jangka
pendek yang bersifat reaktif. Diperlukan jalur visioner dan komprehensif,
semacam perlunya blue print
penanganan yang bersifat jangka panjang. Setidaknya agar bencana ini tidak
terus berulang turun-temurun dari generasi ke genarasi. Blue print itu harus mampu memutus tradisi bencana asap yang
berantai dari tahun ke tahun. Jika blue
print itu sudah ada, maka pelaksanaannya masih “nol”. Diperlukan trobosan
dan perhatian yang besar, karena ini bukan persoalan sepele, taruhannya menyangkut nasib lingkungan, ekonomi, pendidikan,
hingga kesehatan jutaan saudara kita.
Sepertinya
pemerintah bukan tidak punya solusi. Sebab kita sudah mengerti apa yang harus
dilakukan. Indikatornya mudah ditebak, bahwa persoalannya bukan tidak adanya
cara. Pemerintah dengan segala potensi yang dimiliki. Semestinya bisa
mengakhiri tradisi bencana ini. Setidaknya jika pemerintah punya rasa malu,
solusi itu bukan tidak ada. Waktu, sumberdaya dan jalan keluar itu bukan tidak
ada.
NIATAN
DAN KOMITMEN
Ternyatan
masalahnya berpulang kepada niatan, komitmen dan keseriusan semua pihak yang
berkewajiban, terutama pemerintah. Hari ini, yang tidak dimiliki pemerintah
untuk menyelesaikan persoalan ini adalah soal komitmen, niat dan keseriusan.
Inilah sumber persoalan yang mendasar, mengapa bencana kabut asap terus
menyelimuti Sumatera, Kalimantan dan beberapa provinsi sekitar pada tiap
tahunnya (musim kemarau). Jawabannya, tidak adanya komitmen yang kuat dari
penguasa.
Contoh
kecilnya bisa dilihat; sepanjang pengamatan penulis, ketika pemerintah sudah tahu
asap akan muncul, dengan berbagai alasan, kok
pesawat pemadam kebakaran pun tidak disediakan. Disinilah kelalaian terjadi.
Itulah hal yang kita kecewakan karena seperti ada yang tidak komprehensif,
professional dan sinkron dalam sisitem penanggulangan bencana ini.
PENEGAKAN
HUKUM
Kita
semua tahu, bahwa Indonesia sebagian besar wilayahnya rentan mudah terbakar,
sebab Indonesia adalah wilayah yang dilanda el Nino ditandai kemarau panjang.
Namun kebakaran tahun ini banyak dikaitkan dengan aktivitas pembukaan lahan.
Disinilah ironinya bangsa ini ! rupanya kita ini bukan bangsa pembelajar (we are not learning nation).
Mudah
saja, jika persoalannya disebabkan oleh kepentingan manusia yang memanfaatkan kelemahan
pengawasan aparat pemerintah, untuk mengalih fungsikan lahan dan hutan dari
fungsi semestinya sehingga membuat lahan hutan rentan kebakaran maka ketegasan
pemerintah dalam penegakan hukum mesti dipertanyakan. Dalam kasus demikian,
pemerintah kurang tegas dalam menegakan aspek hukum kepada pelaku kebakaran
lahan hutan. “Penegakan hukum yang lemah”.
Jika
selamanya tidak ada penegakan hukum yang tegas maka pembukaan lahan terus
berlangsung. Sebab hampir sebagian besar hutan rawa gambut di Indonesia yang
seluas lebih dari 20 juta hektar tak lepas dari ancaman konservasi. Gambut yang
berfungsi untuk pelestarian sumberdaya air, peredam banjir, pendukung berbagai
kehidupan hayati dan pengendalian iklim itu dibuka untuk berbagai kepentingan
segelintir orang. Keuntungan itu hanya dinikmati oleh segelintir orang, tetapi
merugikan masyarakat dan Negara.
Tidak
ada alasan lagi praktek demikian dibenarkan dan membiarkan hutan gambut hingga
terbakar. Lahan hutan gambut yang rentan terbakar ini sudah saatnya
dikembalikan pada fungsinya semula, sebagai penyimpan air. Sehingga tetap basah
dan subur, baik musim hujan maupun musim kemarau. Cara untuk ini sudah dimiliki
pemerintah, namun jika lahan hutan bertuan ini masih tetap terbakar hingga
menebar kabut asap yang menyesakan dada, maka niatan dan komitmen pemerintah
akan patut kita pertanyakan hingga kapanpun!.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar