Sabtu, 12 September 2015

Negeri Berkabut Asap


Oleh; WAHYUDI

Kabut asap kembali menyelimuti dua pulau terbesar di Indonesia; Sumatera dan Kalimantan. Setidaknya sebanyak 25,6 juta jiwa terpapar asap. Bukan kali pertamanya. Asap yang menjadi rutinitas tahunan ini sudah berlangsung dari 18 tahun silam; sejak 1997. Asap yang berasal dari kebakaran hutan dan lahan. Sungguh tradisi bencana yang ironis. 

Tentu saja ironis dan pastinya membuat geram. Dikatakan ironis sebab bencana itu terus berlangsung, tidak ada tanda-tanda perbaikan. Kondisinya tetap sama dari tahun ke tahun, hingga terjadinya pergantian pemerintahan. Membuat geram disebabkan tradisi bencana itu diluar kewajaran (diluar sunatullah), hal ini terjadi diluar kewajaran sebab dablik bencana itu ada kepentingan manusia yang tak bertanggungjawab. Baik kelompok maupun perorangan.

Secara teknis jangka panjang. Seharusnya dengan waktu yang berlangsung dua dekade itu menjadi modal belajar untuk bagaimana agar setidaknya bencana kabut asap tidak terulang lagi, alias diakhiri. Cara untuk mengakhiri inilah yang menjadi pertanyaan yang harus dijawab oleh pihak yang berwajib (pemerintah)?

Tentu saja, yang diharapkan adalah cara penyelesaian jangka panjang, bukan jangka pendek yang bersifat reaktif. Diperlukan jalur visioner dan komprehensif, semacam perlunya blue print penanganan yang bersifat jangka panjang. Setidaknya agar bencana ini tidak terus berulang turun-temurun dari generasi ke genarasi. Blue print itu harus mampu memutus tradisi bencana asap yang berantai dari tahun ke tahun. Jika blue print itu sudah ada, maka pelaksanaannya masih “nol”. Diperlukan trobosan dan perhatian yang besar, karena ini bukan persoalan sepele, taruhannya menyangkut nasib lingkungan, ekonomi, pendidikan, hingga kesehatan jutaan saudara kita. 

Sepertinya pemerintah bukan tidak punya solusi. Sebab kita sudah mengerti apa yang harus dilakukan. Indikatornya mudah ditebak, bahwa persoalannya bukan tidak adanya cara. Pemerintah dengan segala potensi yang dimiliki. Semestinya bisa mengakhiri tradisi bencana ini. Setidaknya jika pemerintah punya rasa malu, solusi itu bukan tidak ada. Waktu, sumberdaya dan jalan keluar itu bukan tidak ada.

NIATAN DAN KOMITMEN
Ternyatan masalahnya berpulang kepada niatan, komitmen dan keseriusan semua pihak yang berkewajiban, terutama pemerintah. Hari ini, yang tidak dimiliki pemerintah untuk menyelesaikan persoalan ini adalah soal komitmen, niat dan keseriusan. Inilah sumber persoalan yang mendasar, mengapa bencana kabut asap terus menyelimuti Sumatera, Kalimantan dan beberapa provinsi sekitar pada tiap tahunnya (musim kemarau). Jawabannya, tidak adanya komitmen yang kuat dari penguasa.

Contoh kecilnya bisa dilihat; sepanjang pengamatan penulis, ketika pemerintah sudah tahu asap akan muncul, dengan berbagai alasan, kok pesawat pemadam kebakaran pun tidak disediakan. Disinilah kelalaian terjadi. Itulah hal yang kita kecewakan karena seperti ada yang tidak komprehensif, professional dan sinkron dalam sisitem penanggulangan bencana ini.

PENEGAKAN HUKUM
Kita semua tahu, bahwa Indonesia sebagian besar wilayahnya rentan mudah terbakar, sebab Indonesia adalah wilayah yang dilanda el Nino ditandai kemarau panjang. Namun kebakaran tahun ini banyak dikaitkan dengan aktivitas pembukaan lahan. Disinilah ironinya bangsa ini ! rupanya kita ini bukan bangsa pembelajar (we are not learning nation).

Mudah saja, jika persoalannya disebabkan oleh kepentingan manusia yang memanfaatkan kelemahan pengawasan aparat pemerintah, untuk mengalih fungsikan lahan dan hutan dari fungsi semestinya sehingga membuat lahan hutan rentan kebakaran maka ketegasan pemerintah dalam penegakan hukum mesti dipertanyakan. Dalam kasus demikian, pemerintah kurang tegas dalam menegakan aspek hukum kepada pelaku kebakaran lahan hutan. “Penegakan hukum yang lemah”. 

Jika selamanya tidak ada penegakan hukum yang tegas maka pembukaan lahan terus berlangsung. Sebab hampir sebagian besar hutan rawa gambut di Indonesia yang seluas lebih dari 20 juta hektar tak lepas dari ancaman konservasi. Gambut yang berfungsi untuk pelestarian sumberdaya air, peredam banjir, pendukung berbagai kehidupan hayati dan pengendalian iklim itu dibuka untuk berbagai kepentingan segelintir orang. Keuntungan itu hanya dinikmati oleh segelintir orang, tetapi merugikan masyarakat dan Negara.

Tidak ada alasan lagi praktek demikian dibenarkan dan membiarkan hutan gambut hingga terbakar. Lahan hutan gambut yang rentan terbakar ini sudah saatnya dikembalikan pada fungsinya semula, sebagai penyimpan air. Sehingga tetap basah dan subur, baik musim hujan maupun musim kemarau. Cara untuk ini sudah dimiliki pemerintah, namun jika lahan hutan bertuan ini masih tetap terbakar hingga menebar kabut asap yang menyesakan dada, maka niatan dan komitmen pemerintah akan patut kita pertanyakan hingga kapanpun!.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar