Minggu, 13 September 2015

Momentum Reformasi Ekonomi


Oleh: WAHYUDI

Ditengah situasi pelambatan ekonomi seperti saat ini, bangsa Indonesia harus bisa menangkap  peluang dan kesempatan (oportuninty). Detik-detik pelemahan ekonomi ini harus kita manfaatkan sebagai momentum historis untuk melakukan berbagai langkah perbaikan fundamental dan struktural. Dalam kondisi demikian, usaha kecil dan ekonomi kraetif menawarkan alternatif.

Jangan sampai anjolknya nilai tukar rupiah kali ini membuat kita lupa akan sejarah, yakni pada pengalaman bersejarah dan berharga di tahun 1998. Pristiwa krisis yang kebetulan pemicunya sama; melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dolar AS. Momentum krisis 1998 yang melahirkan ratusan ribu hingga jutaan UMKM. Negara yang tangguh adalah Negara yang 85 % fondasi perekonomian nasioanalnya ditopang oleh pengusaha-pengusaha UKM, bukan pebisnis dan korporasi berskala raksasa.

Jujur kita akui, bahwa saat ini ekonomi Indonesia dihadapkan pada krisis nilai tukar rupiah terhadap dolar AS. Sebenarnya rupiah kita hanya sedikit anjlok kebawah Rp.1.500-an terhadap dolar AS. Namun krisis ini berkekuatan memukul sektor industri padat karya dalam negeri yang berbahan baku impor. 

Korporasi Indonesia pada umumnya menggunakan bahan baku impor yang berjumlah besar, sehingga sangat rentan resiko kurs. Dampak dari itu adalah biaya operasional produksi menjadi meningkat siginifikan. Dalam waktu yang sama, permintaan dan daya beli masyarakat melemah dan anjlok, terutama di daerah penghasil komoditas. Ditambah lagi kualitas tata kelola perusahaan dan faktor lainnya yang kerap dipertanyakan oleh penulis. Sebab sejak dulu Indonesia masih memiliki struktural dan industri yang sangat rapuh.

Tentu, kondisi demikian membuat banyak pihak panik dan cemas. Kepanikan dan kecemasan itu setidaknya dialami oleh ribuan buruh yang takut terkena PHK susulan, sebab sebanyak 26.000 buruh sudah terkena PHK. PHK tak terhindarkan, karena biaya produksi diluar akal itu berpotensi merugikan korporasi. Angka PHK sebanyak itu turut menyumbang jumlah pengangguran dan kemiskinan di kantor Badan Pusat Statistik (BPS) Indonesia.

Kabar lain, kepanikan itu menimpah beberapa bos insdustri padat karya yang terpaksa gulung tikar. Penulis tegaskan, bahwa fenomena ini tidak mengada-ada, apalagi mendramatisir, sama sekali murni kenyataan. Tulisan ini sama sekali tidak bermaksud membuat cemas, takut, apalagi pesimis. Sebab memang demikian adanya. Coba kita lihat data BI, disana angka makroekonomi baik-baik saja, tidak ada masalah. Tidak ada indikator krisis yang menakutkan dan mengacaukan. Semuanya baik dan beres. Tetapi, kenyataan lapangan berbicara lain, amat jauh berbeda dengan yang dikatakan angka. Sektor real sedang lesuh dan terpuruk. Disinilah keberanian kita sebagai bangsa diuji untuk menentukan jalan lain ekonomi, mencari jalan alternatif yang tersedia.

TAWARAN ALTERNATIF
Dalam kondisi demikian, usaha mikro, kecil  dan menengah  (UMKM) menawarkan alternatif. Usaha ini tidak begitu bergantung pada bahan baku impor sehingga krisis nilai tukar rupiah tidak terlalu menjadi persoalan. Bahan baku lokal mampu memenuhi kebutuhan sektor usaha mikro, kecil dan menengah ini. UMKM ini pada umumnya bergerak di sektor industri kreatif. 

Di era perkembangan sains dan teknologi yang terus mengalami integrasi dunia, menyebabkan terjadinya “fragmentasi produk bertambah”. Dalam kondisi ekonomi seperti itu maka daya saing ekonomi tidak lagi berkait pada sektor industri hulu dan hilir, eksploitasi sumber daya alam, ongkos tenaga kerja dan jasa. Akan tetapi lebih pada bagaimana suatu Negara dan bangsa menciptakan nilai tambah lebih banyak (more value plus). Disinilah masa depan ekonomi dunia lebih menuntut kapabilitas, daya kreatifitas, sumberdaya manusia, sains dan teknologi.

Selama ini, kemajuan dalam bidang ekonomi Indonesia terutama didukung oleh ekspolitasi sumberdaya alam (migas dan hutan). Sementara kemajuan ekonomi Negara-negara maju didukung oleh ekspor, industri berbasis iptek, peningkatan produktifitas dan daya saing nasional.

BLUE PRINT 100 TAHUN INDOENSIA ADIL MAKMUR
Selama 70 tahun, Indonesia belum sejahtera karena baru memanfaatkan satu dari empat mesin pembangunan, yaitu sumberdaya alam. Ketiga mesin lain, yaitu sumberdaya manusia, infrastruktur serta ilmu pengetahuan dan teknologi, belum termanfaatkan. Indonesia harus memanfaatkan bonus demografi melalui peningkatan kapasitas kewirausahaan (interpreunership). (Subroto, 2015).

Pada momentum kali ini, kita (bangsa Indonesia) harus berani menentukan dan membangun ulang fondasi ekonomi nasional; Disini UMKM yang teruji tahan goncangan krisis sebagai tawaran alternatif bagi fondasi ekonomi Indonesia. Agenda penguatan dan pembenahan institusi keuangan dan industri besar dalam negeri juga harus terus dilakukan. Kita harus berani membuat rancang bangun (blue print) pembangunan menuju 100 tahun Indonesia merdeka pada tahun 2045, visi Indonesia adil dan makmur menjadi komitmen dan tujuan dari blue print ini.

Jangan sampai kita kehilangan momentum yang kedua kalinya. Sebab pristiwa 1998 cukup memberikan pengalaman yang berharga, setidaknya untuk bangsa pembelajar (learning nation). Kita masih ingat, pada saat gerbang era reformasi dibuka telah berhasil memaksa sang ditaktor soeharto lengser keprabonan. Namun perlu diingat bahwa tidak semua masalah langsung tertangani dan dibereskan. Sebagian besar daftar masalah-masalah yang bersifat fundamental justru tidak tersentuh reformasi. Salah satunya adalah hilangnya kesempatan mereformasi sistem ekonomi dengan daya kreatifitas sendiri, atau dengan kata lain Indonesia pada waktu itu belum sempat membuat rancang bangun 100 tahun ekonomi Indonesia sejahtera.

Disinilah kita sebagai learning nation (bangsa pembelajar) yang sadar pengalaman sejarah harus bisa memanfaatkan momentum historis ini untuk melakukan berbagai langkah perbaikan fondasi dan struktur ekonomi. Setidaknya agar krisis serupa tidak terulang lagi di masa depan. Reformasi ekonomi juga sebagai ikhtiar mencapai tujuan berbangsa dan bernegara, jika tidak ada ikhtiar kebangsaan ini maka cita-cita konstitusi akan tetap basi dan lapuk diatas kertas putih tanpa perwujudan nyata bagi kebahagian rakyat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar