Oleh; Wahyudi
Siapa
yang tidak tahu dengan miras, minuman yang memabukan ini keberadaannya selalu
diliputi pro dan kontra. Soal miras ini, belum lama Presiden Jokowi melalui
Menteri Perdagangan – Tomas Lembong - ingin memberlakukan kebijakan pelonggaran
penjualan miras. Sebelumnya keberadaan perdagangan miras dihentikan oleh
Menteri Perdagangan yang lalu; Rahmat Gobel. Pelonggaran penjualan miras yang
dilakukan pemerintah bertujuan mendorong perbaikan kondisi ekonomi yang semakin
melemah.
Minuman
yang memabukan ini diharapkan dapat mengobati ekonomi yang sedang mabuk.
Apalagi diketahui nilai ekonomi dari produksi miras mencapai triliunan. Dari
nilai ekonomi yang tinggi ini amat mubazir jika produksi dan penjualan miras
dihentikan. Sehingga industry miras perlu diselamatkan, setidaknya untuk
mendorong penghasilan pajak dan perekonomian daerah.
Dalam kondisi ekonomi yang lemah ini
pemerintah sedang membutuhkan banyak cara dan opsi yang mampu mendorong
perbaikan jangka pendek. Hingga sampai saat ini anjloknya nilai tukar rupiah
tak kunjung mendapat tangga naiknya, rupiah anjlok hingga Rp.14.700 per dolar
AS. Ini menandakan krisis ekonomi sudah ada di pelupuk mata. Pemutusan hubungan
kerja semakin mengancam. Kemiskinan pun bertambah. Dalam jangka pendek kita
membutuhkan bantalan agar ketika krisis semakin dalam, ekonomi kita tidak jatuh
terlampau dalam.
***
Salah satu bantalan yang mungkin
dianggap pemerintah mampu sebagai obat ekonomi jangka pendek adalah miras. Sejauh
ini mungkin pemerintah sudah memetakan potensi dan kelebihan ekonomi miras.
Sehingga kontribusi ekonomi miras layak dipertimbangkan.
Terlepas dari potensi dan kelebihan
kontribusi ekonomi miras. Ada banyak tanya yang semestinya menjadi pertimbangan
pemerintah sebelum kebijakan relaksasi miras diberlakukan. Setidaknya untuk
menakar resiko jangka panjang kedepannya.
Pertama,
besar kecilnya konsumsi miras oleh rakyat harus diperhitungkan, meskipuan
penulis tidak menyebut angkanya, tetapi masih lebih banyak orang yang tidak
mengonsumsi minuman beralkohol, miras bukanlah kebutuhan yang dekat dengan
masyarakat. Analsis kecil ini setidaknya menguatkan pendapat bahwa miras tidak
akan membantu menaikan pandapatan pajak dan perekonomain Indonesia.
Kedua,
potensi konflik dan kekerasan sosial yang dipicu akibat menonsumsi miras sangat
tinggi, kerusuhan sosial akibat miras
ini sering terjadi misalnya di daerah Indramayu. Namun semenjak pemerintah
Indramayu memberlakukan perda anti miras terbukti efektif mampu menurunkan
angka konflik dan kekerasan sosial.
Ketiga, masih
terjadi lemahnya pengendalian peredaran miras yang dilakukan pemerintah, ini
terbukti masih banyak peredaran miras tidak hanya untuk golongan tertentu.
Tetapi tetap kecolongan dan di konsumsi pula oleh mereka yang masih remaja.
Jika ini tetap terjadi, kualitas generasi muda menjadi taruhannya.
Keempat, indonesia
dengan mayoritas berpenduduk muslim masih belum
mengakomodasi kontribusi ekonomi miras. Ini bisa dilihat banyaknya
reaksi penolakan yang ditunjukan oleh sejumlah pemangku kebijakan pemerintah
daerah. Dengan kondisi demikian, bisa kita bayangkan perdagangan miras sama
sekali tidak akan mampu membantu ekonomi rakyat di daerah.
Sekali
lagi, jika tujuan relaksasi pelonggaran penjualan miras untuk meningkatkan
pendapatan Negara (pajak), sebenarnya langkah ini kurang efektif dan tidak
bijak. Sebab masih lebih banyak orang yang tidak mengkonsumsi minuman alkohol.
Belum lagi resiko jangka panjang yang ditimbulkannya dapat memicu persoalan
sosial yang tidak sederhana.
Kita
yakin dan percaya bahwa maksud dan tujuan dari pemerintah amat baik, tujuannya
demi memperbaiki ekonomi rakyat. Namun amatlah lebih bijak jika kebijakan yang
diambil juga harus memperhitungkan aspirasi rakyat dan resiko kedepannya.
Pemerintah
harus yakin dan cerdas bahwa masih banyak cara dan pilihan lain untuk
memperjuangkan ekonomi rakyat. Kebijakan yang diambil setidaknya atas restu
rakyat, bukan hanya berdasar suara pemangku kepentingan tertentu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar