Rabu, 30 September 2015

Mengobati Ekonomi dengan Miras


Oleh; Wahyudi
 
Siapa yang tidak tahu dengan miras, minuman yang memabukan ini keberadaannya selalu diliputi pro dan kontra. Soal miras ini, belum lama Presiden Jokowi melalui Menteri Perdagangan – Tomas Lembong - ingin memberlakukan kebijakan pelonggaran penjualan miras. Sebelumnya keberadaan perdagangan miras dihentikan oleh Menteri Perdagangan yang lalu; Rahmat Gobel. Pelonggaran penjualan miras yang dilakukan pemerintah bertujuan mendorong perbaikan kondisi ekonomi yang semakin melemah.

Minuman yang memabukan ini diharapkan dapat mengobati ekonomi yang sedang mabuk. Apalagi diketahui nilai ekonomi dari produksi miras mencapai triliunan. Dari nilai ekonomi yang tinggi ini amat mubazir jika produksi dan penjualan miras dihentikan. Sehingga industry miras perlu diselamatkan, setidaknya untuk mendorong penghasilan pajak dan perekonomian daerah.

            Dalam kondisi ekonomi yang lemah ini pemerintah sedang membutuhkan banyak cara dan opsi yang mampu mendorong perbaikan jangka pendek. Hingga sampai saat ini anjloknya nilai tukar rupiah tak kunjung mendapat tangga naiknya, rupiah anjlok hingga Rp.14.700 per dolar AS. Ini menandakan krisis ekonomi sudah ada di pelupuk mata. Pemutusan hubungan kerja semakin mengancam. Kemiskinan pun bertambah. Dalam jangka pendek kita membutuhkan bantalan agar ketika krisis semakin dalam, ekonomi kita tidak jatuh terlampau dalam. 

***

            Salah satu bantalan yang mungkin dianggap pemerintah mampu sebagai obat ekonomi jangka pendek adalah miras. Sejauh ini mungkin pemerintah sudah memetakan potensi dan kelebihan ekonomi miras. Sehingga kontribusi ekonomi miras layak dipertimbangkan.

            Terlepas dari potensi dan kelebihan kontribusi ekonomi miras. Ada banyak tanya yang semestinya menjadi pertimbangan pemerintah sebelum kebijakan relaksasi miras diberlakukan. Setidaknya untuk menakar resiko jangka panjang kedepannya.

            Pertama, besar kecilnya konsumsi miras oleh rakyat harus diperhitungkan, meskipuan penulis tidak menyebut angkanya, tetapi masih lebih banyak orang yang tidak mengonsumsi minuman beralkohol, miras bukanlah kebutuhan yang dekat dengan masyarakat. Analsis kecil ini setidaknya menguatkan pendapat bahwa miras tidak akan membantu menaikan pandapatan pajak dan perekonomain Indonesia.

            Kedua, potensi konflik dan kekerasan sosial yang dipicu akibat menonsumsi miras sangat tinggi,  kerusuhan sosial akibat miras ini sering terjadi misalnya di daerah Indramayu. Namun semenjak pemerintah Indramayu memberlakukan perda anti miras terbukti efektif mampu menurunkan angka konflik dan kekerasan sosial.

Ketiga, masih terjadi lemahnya pengendalian peredaran miras yang dilakukan pemerintah, ini terbukti masih banyak peredaran miras tidak hanya untuk golongan tertentu. Tetapi tetap kecolongan dan di konsumsi pula oleh mereka yang masih remaja. Jika ini tetap terjadi, kualitas generasi muda menjadi taruhannya.

Keempat, indonesia dengan mayoritas berpenduduk muslim masih belum  mengakomodasi kontribusi ekonomi miras. Ini bisa dilihat banyaknya reaksi penolakan yang ditunjukan oleh sejumlah pemangku kebijakan pemerintah daerah. Dengan kondisi demikian, bisa kita bayangkan perdagangan miras sama sekali tidak akan mampu membantu ekonomi rakyat di daerah.

Sekali lagi, jika tujuan relaksasi pelonggaran penjualan miras untuk meningkatkan pendapatan Negara (pajak), sebenarnya langkah ini kurang efektif dan tidak bijak. Sebab masih lebih banyak orang yang tidak mengkonsumsi minuman alkohol. Belum lagi resiko jangka panjang yang ditimbulkannya dapat memicu persoalan sosial yang tidak sederhana.

Kita yakin dan percaya bahwa maksud dan tujuan dari pemerintah amat baik, tujuannya demi memperbaiki ekonomi rakyat. Namun amatlah lebih bijak jika kebijakan yang diambil juga harus memperhitungkan aspirasi rakyat dan resiko kedepannya.

 

Pemerintah harus yakin dan cerdas bahwa masih banyak cara dan pilihan lain untuk memperjuangkan ekonomi rakyat. Kebijakan yang diambil setidaknya atas restu rakyat, bukan hanya berdasar suara pemangku kepentingan tertentu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar