Minggu, 27 September 2015

Memutus Tradisi Petaka Haji

Oleh; Wahyudi


 (tulisan ini terbit di koran harian Radar Cirebon edisi 28 September 2015)

Kita berduka dan sangat prihatin atas tragedi haji yang terus berulang dan yang sudah berkali-kali merenggut ratusan korban jiwa itu tidak kunjung bisa teratasi.

Belum usai kesedihan atas tragedi kematian jamaah haji dalam pristiwa jatuhnya crane (mesin derek) di Masjidil Haram. Kini dunia islam kembali harus berduka akibat kematian kurang lebih 717 jamaah haji saat hendak melontar jumrah, di Mina.

Peristiwa itu merupakan tragedi yang kesepuluh kalinya sejak 1980-an. Dari 10 peristiwa tragis tersebut, tujuh di antaranya terjadi saat prosesi melontar jumrah.
Hakikat ritual melontar jumrah merupakan simbol ritus mengusir setan (iblis) dari jiwa-jiwa manusia, tetapi dalam prakteknya amat jauh dari penghayatan makna mendalam dari setiap proses ibadah haji tersebut. 

Tugas tokoh ummat islam dunia adalah jangan membiarkan kondisi ini berlanjut dan umat islam berjalan sendiri dengan mementingkan urusan “benalitas (lapisan luar)” ajaran ibadah, misalnya mengejar kuantitas pahala sebanyak-banyaknya tetapi mengabaikan keselamatan manusia lainnya? Ketidaktertiban dan ketidakdisipilan proses ritual pun menjadi tontonan seperti kompetisi menjemput kematian. Bukannya nilai ritual yang didapat, justru petaka yang datang.

Tetapi tragedi ini tidak benar jika sepenuhnya kesalahan dari kurang tertibnya  jamaah. Juga tidak selalu benar jika tragedi kematian itu berdasarkan pernyataan transenden bahwa semua sudah menjadi takdir Tuhan. Seharusnya faktor kelalaian manajemen menjadi isu yang harus disoroti. Disinilah kita tak boleh pasrah, ikhlas dan lapang menghadapi musibah yang diakibatkan kelalaian manajamen. Kita boleh menuntut mereka (manajemen) yang karena kelalaiannya menyebabkan suatu bencana terjadi. Sudah saatnya kita harus memutus tradisi tragedi ini yang terus berlangsung tanpa bisa diatasi.

***

Ibadah haji adalah ajaran ibadah islam, merupakan prosesi ritual akbar yang diikuti oleh jutaan umat muslim dari berbagai bangsa dan Negara dunia dalam kurun waktu yang sama dan di tempat yang sama pula. Bisa kita bayangkan, dalam situasi dan kondisi itu bukanlah tugas ringan untuk mengaturnya. 

Disinilah demi keamanan dan keselamatan seharusnya diperlukan manajemen pengelolaan yang baik dengan standar dan tenaga professional. Acara besar ini tidak mungkin hanya dikelolah oleh satu Negara, apalagi prosesi haji melibatkan jamaah dari berbagai Negara dunia. 

Dibutuhkan peran Negara lain, selain juga menjadi tugas setiap Negara asal para jamaah untuk melindungi warganya. Namun anehnya, Negara arab Saudi sebagai otoritas penyelenggara belum membuka diri bagi masuknya peran negara lain untuk ikut serta mengatur prosesi ibadah haji.

Sudah sepatutnya, Negara-negara lain untuk terus mendesak dan melakukan diplomasi kepada pemerintahan Negara arab Saudi agar membuka diri menerima hadirnya peran tenaga professional dari Negara lain. Belum lagi prosesi ibadah haji pada setiap tahunnya mengalami peningkatan jumlah jamaah dari berbagai penjuru dunia, kenyataan ini haruslah dianggap sebagai pekerjaan besar yang menuntut manajemen yang baik agar setidaknya tragedi mina tidak berulang pada setiap tahunnya.

Pendapat ini amatlah rasional, tidak sepatutnya kita membiarkan prosesi ritual haji yang sakral itu terus dinodai oleh tragedi duka. Tidak sepatutnya pula kita selalu membenarkan bahwa tragedi duka ini akibat faktor alam dan atau takdir Tuhan.  

Jika pemetaan persoalannya jelas ada pada buruknya manajemen atau kelalaian manusia, sudah waktunya kita membangun manajemen yang memungkinkan pelaksanaan prosesi ibadah haji penuh dengan kenyamanan, keamanan dan keselamatan. Sehingga makna mendalam dari sakralitas nilai ibadah haji sedapat mungkin berdampak pada jamaah. 

Tragedi haji tahun ini sejatinya menjadi renungan dan peringatan kepada ummat Nabi Muhammad, setidaknya untuk ummat pembelajar yang mau belajar sejarah dan tidak mengulang sejarah yang buruk. Hal ini Allah berkata: “pelajarilah sejarahmu, untuk hari esokmu”. Pristiwa ini menjadi tugas umat islam dunia untuk membenahi berbagai sisinya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar