Oleh; WAHYUDI
Ketika usaha
dalam negeri sedang menggigil disulitkan oleh pelemahan nilai tukar rupiah.
Kurang lebih sebanyak ratusan ribu buruh menjadi korban PHK. Presiden Jokowi
yang peduli pada rakyatnya itu tiba-tiba membuat kebijakan yang mengejutkan.
Presiden Jokowi menghapus syarat kemampuan berbahasa Indonesia bagi tenaga
kerja asing. Ini sama saja membuka pintu masuk lebar bagi pekerja asing untuk
merebut lapangan kerja dalam negeri.
Tepatnya pada
hari jumat 21 Agustus 2015, presiden Jokowi dengan resmi menanggalkan aturan
mampu berbahasa Indonesia bagi pekerja asing yang bekerja di Indonesia.
Keinginan membuka dan menggenjot arus investasi dari luar menjadi alasan
pemerintah menghapus aturan dapat berbahasa Indonesia yang termaktub dalam
pasal 26 ayat (1) Permenakertrans 12/2013 huruf (d).
Persoalannya
adalah dengan menghapus kemampuan berbahasa Indonesia sama saja seperti
membiarkan pekerja asing berbondong-bondong masuk ke Indonesia dan merebut peluang kerja di
dalam negeri. Apalagi dengan adanya kasus nyata banyaknya pekerja asing yang
tidak memiliki keahlian khusus bisa dapat bekerja di berbagai sektor usaha;
supir, buruh, dan lainnya.
Jika pekerjaan
menengah kebawah atau pekerjaaan yang tidak membutuhkan keahlian khusus pun
dikerjakan oleh pekerja asing, lalu bagaimana dengan nasib rakyat? bisa mati di
negeri sendiri. Dampak jangka panjang dari kebijakan ini akan menambah
persoalan bangsa. Padahal persoalan tingkat pengangguran saja belum teratasi. Jumlah
lulusan sarjana dalam negeri saja masih banyak yang menganggur, belum dengan
yang lainnya? Seperti mereka yang berpendidikan rendah dan tidak memiliki
keahlian khusus bukan tidak mungkin akan menjadi korban.
Dalam kondisi
ekonomi seperti saat ini. Kecepatan memang menjadi point amat penting, bukan
hanya karena investasi krusial untuk menggerakan roda pembangunan ekonomi
nasional. Namun tentu saja kita harus tetap memperhatikan resiko di depannya.
Apalagi keputusan yang diambil taruhannya adalah nasib rakyat. Setidaknya
kebijakan yang diambil harus berdasar studi yang komprehensif, bukan berdasar
atas tergiurnya investasi besar.
Pembangunan
ekonomi nasional sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat. Selain untuk
menggenjot roda dan pertumbuhan perekonomian, pembangunan ekonomi juga harus
mampu membuka lapangan pekerjaan. Dari manapun sumber investasinya, termasuk
investasi dari luar, lapangan kerja harus ditujukan bagi rakyat. Bukan malah
membuka pintu lebar bagi pekerja asing untuk mengisi ruang lapangan kerja yang
bisa dikerjakan oleh kita sendiri.
Sebenarnya
investasi macam apa yang dinginkan pemerintah? Bukankah investasi itu justru
untuk membuka lapangan kerja agar rakyat bisa menjadi pekerja? Resiko
penghapusan kemampuan berbahasa Indonesia bagi pekerja asing harus
dipertimbangkan lagi, apalagi kita akan memasuki berlakunya era Masyarakat
Ekonomi ASEAN (MEA) pada awal Januari 2016 yang akan membuat pekerja asing
semakin mudah berbondong-bondong datang ke Indonesia. Ini sama saja kebijakan
yang membunuh rakyatnya sendiri?
Kondisi
tersebut tentu saja patut kita kritisi, apalagi negeri kita masih
dibayang-bayangi banyaknya pengangguran dan kemiskinan. Belum lagi Negara kita
tidak memberi perlindungan kesempatan kerja dan pengarahan kerja untuk warga
negaranya.
Berbeda dengan
Negara maju misalnya yang memberi perlindungan kesempatan dan pengarahan kerja
bagi warga negaranya. Negara betul-betul hadir dalam memenuhi kesejahteraan
kehidupan warga negaranya. Kondisi ini kontras dengan Negara kita, ribuan
angkatan kerja di Negara kita masih dibayang-bayangi oleh tidak adanya jaminan
dan perlindungan kesempatan kerja.
Kebijakan
presiden Jokowi tersebut yang dipastikan membuka pintu lebar masuknya pekerja
asing tentu akan memicu kecemburuan sosial di kalangan tenaga kerja lokal.
Tetapi mudah-mudahan perasaan cemburu itu tidak berubah menjadi aksi sosial,
seperti yang terjadi di Jerman menjelang jebolnya Tembok Berlin.
(tulisan ini telah terbit di Koran Rakyat Cirebon)
(tulisan ini telah terbit di Koran Rakyat Cirebon)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar