Oleh; WAHYUDI
Pelemahan
ekonomi sektor riil yang terjadi pada akhirnya memicu resiko peningkatan angka
kemiskinan. Gejolak harga pangan yang kian meningkat menjadi penyebab daya beli
masyarakat terus melemah. Masyarakat menengah kebawah atau yang berpendapatan
rendah pada akhirnya menjadi korbannya.
Dari
berbagai surat kabar bahwa Badan Pusat Statistik (BPS) mengeluarkan data
terbaru orang miskin, pada maret 2015, angka orang miskin, yakni orang yang
dengan pengeluaran per kapita per bulan dibawah garis kemiskinan, mencapai
28,59 juta orang atau meningkat 860.000 jiwa dibandingkan pada September 2014.
Munculnya
sinyal angka kemiskinan ini layak
menjadi tema krusial yang harus dikritisi. Sebab, implikasi angka kemiskinan tersebut
tak hanya berdimensi ekonomi, tetapi lebih luas dapat memicu gejolak sosial
politik. Disinilah keadaan ekonomi kita bukan lagi berada pada kondisi lampu
kuning, tetapi sudah mendekati lampu merah.
Gambaran
angka kemiskinan BPS tersebut amat erat hubungannya dengan urusan kebutuhan
pokok, terutama soal pangan; perut. Pangan sebagai komoditas yang merupakan
pengeluaran fital terbesar masyarakat menengah kebawah. Tingginya harga pangan
ditengah apesnya kinerja sektor ril menjadi badai yang langsung menggerus daya
beli masyarakat.
***
Dengan
kondisi ekonomi yang force majeure
ini, persoalannya suda amat jelas, dari sekian banyak pemetaan keadaan, dengan meningkatnya
angka kemiskinan sesungguhnya menjadi lonceng akhir sekaligus tanda peringatan
pertama bagi pemimpin bangsa ini untuk hadir dan membantu masyarakat yang
tengah dibayang-bayangi nasib ekonominya.
Paket
stimulus September satu diharapkan menjadi senjata dan solusi yang benar dan
tepat. Solusi yang diberikan setidaknya sebuah stimulus yang konkrit dan mampu
menyentuh pada core persoalan yang
sesungguhnya.
Solusi
yang demikian bisa terwujud jika pemerintah betul-betul memiliki pemahaman yang
baik atas persoalan yang dihadapi rakyat. Disinilah pemerintah harus berani
jujur melihat kondisi rakyatnya dengan mata kepala sendiri. Jujur melihat
kondisi rakyat menjadi syarat untuk memperoleh pemahaman yang utuh dalam
melihat persoalan yang terjadi. Sehingga kebijakan yang dibuat menjadi solusi
yang tepat.
Paket
kebijakan jilid satu yang menohok pada tiga sasaran utama, sebenarnya nyaris
sempurna menjadi solusi atas apesnya kondisi ekonomi. Bisa dilihat yaitu, pertama; meningkatkan stabilitas
makroekonomi, kedua; menggerakan
perekonomian nasional, ketiga;
melindungi masyarakat berpendapatan rendah dan mempercepat roda ekonomi desa.
Banyak
kalangan menyambut baik dan menaruh harapan atas implikasi positif dari
penerapan paket stimulus tersebut. Harapan tersebut setidaknya meliputi; relaksasi
langsung terhadap dunia usaha, dapat mendukung terhadap sektor produksi dan
yang paling penting diharapkan adalah mampu mengatasi stabilisasi harga pangan
dan mencegah PHK susulan.
Tingginya
harga pangan menjadi pemicu bagi tingkat inflasi bahan makanan (volatile food) pada agustus 2015 hingga
menyentuh angka 9,27 persen (yoy).
Bisa kita bayangkan, tingginya harga pangan dan lemahnya daya beli rakyat di
tengah pukulan lesunya kinerja sektor produksi dapat merubah keadaan menjadi
stagnan.
Stagnasi
ini tidak hanya terjadi pada sektor korporasi industri besar, justru sektor
UMKM juga turut terpukul menjadi korbannya. Jika krisis tahun 1997/1998 sektor
UMKM bermunculan menjadi pahlawan ditengah krisis ekonomi, sekarang justru
sebaliknya. Sektor UMKM juga bisa dipastikan ikut apes, sebab yang mengalami
anjloknya daya beli masyarakat yang terbesar adalah masyarakat berpenghasilan
menengah kebawah yang notebene
sebagai konsumen UMKM.
Adanya
poin paket stimulus yang menyasar pada agenda deregulasi dan debirokratisasi
haruslah jelas dalam pelaksanaannya. Sejatinya, agenda deregulasi dan
debirokratisasi sebagai solusi nyata, setidaknya untuk membangkitkan kembali
daya beli masyarakat yang kian anjlok.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar