Sabtu, 19 September 2015

Lonceng Gelombang Kemiskinan


Oleh; WAHYUDI

Pelemahan ekonomi sektor riil yang terjadi pada akhirnya memicu resiko peningkatan angka kemiskinan. Gejolak harga pangan yang kian meningkat menjadi penyebab daya beli masyarakat terus melemah. Masyarakat menengah kebawah atau yang berpendapatan rendah pada akhirnya menjadi korbannya.
Dari berbagai surat kabar bahwa Badan Pusat Statistik (BPS) mengeluarkan data terbaru orang miskin, pada maret 2015, angka orang miskin, yakni orang yang dengan pengeluaran per kapita per bulan dibawah garis kemiskinan, mencapai 28,59 juta orang atau meningkat 860.000 jiwa dibandingkan pada September 2014. 
Munculnya sinyal  angka kemiskinan ini layak menjadi tema krusial yang harus dikritisi. Sebab, implikasi angka kemiskinan tersebut tak hanya berdimensi ekonomi, tetapi lebih luas dapat memicu gejolak sosial politik. Disinilah keadaan ekonomi kita bukan lagi berada pada kondisi lampu kuning, tetapi sudah mendekati lampu merah.
Gambaran angka kemiskinan BPS tersebut amat erat hubungannya dengan urusan kebutuhan pokok, terutama soal pangan; perut. Pangan sebagai komoditas yang merupakan pengeluaran fital terbesar masyarakat menengah kebawah. Tingginya harga pangan ditengah apesnya kinerja sektor ril menjadi badai yang langsung menggerus daya beli masyarakat. 
***
Dengan kondisi ekonomi yang force majeure ini, persoalannya suda amat jelas, dari sekian banyak pemetaan keadaan, dengan meningkatnya angka kemiskinan sesungguhnya menjadi lonceng akhir sekaligus tanda peringatan pertama bagi pemimpin bangsa ini untuk hadir dan membantu masyarakat yang tengah dibayang-bayangi nasib ekonominya.
Paket stimulus September satu diharapkan menjadi senjata dan solusi yang benar dan tepat. Solusi yang diberikan setidaknya sebuah stimulus yang konkrit dan mampu menyentuh pada core persoalan yang sesungguhnya. 
Solusi yang demikian bisa terwujud jika pemerintah betul-betul memiliki pemahaman yang baik atas persoalan yang dihadapi rakyat. Disinilah pemerintah harus berani jujur melihat kondisi rakyatnya dengan mata kepala sendiri. Jujur melihat kondisi rakyat menjadi syarat untuk memperoleh pemahaman yang utuh dalam melihat persoalan yang terjadi. Sehingga kebijakan yang dibuat menjadi solusi yang tepat.
Paket kebijakan jilid satu yang menohok pada tiga sasaran utama, sebenarnya nyaris sempurna menjadi solusi atas apesnya kondisi ekonomi. Bisa dilihat yaitu, pertama; meningkatkan stabilitas makroekonomi, kedua; menggerakan perekonomian nasional, ketiga; melindungi masyarakat berpendapatan rendah dan mempercepat roda ekonomi desa.
Banyak kalangan menyambut baik dan menaruh harapan atas implikasi positif dari penerapan paket stimulus tersebut. Harapan tersebut setidaknya meliputi; relaksasi langsung terhadap dunia usaha, dapat mendukung terhadap sektor produksi dan yang paling penting diharapkan adalah mampu mengatasi stabilisasi harga pangan dan mencegah PHK susulan.
Tingginya harga pangan menjadi pemicu bagi tingkat inflasi bahan makanan (volatile food) pada agustus 2015 hingga menyentuh angka 9,27 persen (yoy). Bisa kita bayangkan, tingginya harga pangan dan lemahnya daya beli rakyat di tengah pukulan lesunya kinerja sektor produksi dapat merubah keadaan menjadi stagnan.
Stagnasi ini tidak hanya terjadi pada sektor korporasi industri besar, justru sektor UMKM juga turut terpukul menjadi korbannya. Jika krisis tahun 1997/1998 sektor UMKM bermunculan menjadi pahlawan ditengah krisis ekonomi, sekarang justru sebaliknya. Sektor UMKM juga bisa dipastikan ikut apes, sebab yang mengalami anjloknya daya beli masyarakat yang terbesar adalah masyarakat berpenghasilan menengah kebawah yang notebene sebagai konsumen UMKM. 
Adanya poin paket stimulus yang menyasar pada agenda deregulasi dan debirokratisasi haruslah jelas dalam pelaksanaannya. Sejatinya, agenda deregulasi dan debirokratisasi sebagai solusi nyata, setidaknya untuk membangkitkan kembali daya beli masyarakat yang kian anjlok.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar