Oleh:
Wahyudi*
Membuat
kondisi adil dan sejahtera adalah tugas besar pemimpin bangsa. Kita masih ingat bagaimana setelah
pemerintah menetapkan PP Nomor 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan, yang terjadi
adalah reaksi penolakan ribuan buruh yang tak kunjung meredam. Kalangan pekerja menuntut perbaikan upah.
Sebab pekerja khawatir, jika mereka tidak menuntut, tentu hak pekerja sesuai
dengan hidup layak tidak akan tercapai
sehingga terwujud kesejahteraan.
Kesejahteraan disini tentunya terutama
kaum pekerja mendamba adanya perbaikan kesejahteraan materil. Dalam
kesejahteraan materil biasanya yang menjadi objek konflik antara pekerja dan
perusahaan adalah menyangkut soal upah minimum yang ukurannya ditentukan oleh
nilai uang.
Persoalan upah yang menyangkut kepentimngan buruh,
pengusaha dan pemerintah ini patut kita refleksikan di momen peringatan hari
buruh setiap tanggal 1 Mei. Dalam momen ini kita kaum pekerja, pemerintah, dunia usaha
dan semua pihak patut untuk merefleksi kembali tentang dunia ketenagakerjaan
kita. Terutama menyangkut kesejahteraan pekerja, seperti perlindungan, jaminan
hak hidup layak dan hak asasi kemanusiaan lainnnya yang dijamin oleh konstitusi
kita dalam UUD 1945.
Uang kadang menjadi alasan setiap
insan untuk mempertahankan sikap dirinya dalam menjaga eksistensi hidupnya,
meskipun tidak melulu menyangkut uang, tetapi juga menyangkut nurani kemanusiaan. “Waktu
adalah uang” begitulah kiranya bunyi istilah familiar ditelinga banyak orang.
Uang memang bukanlah segalanya, namun segalanya butuh uang, setiap gerak-gerik
kehidupan ini pasti sedikitnya memerlukan uang.
Persoalan uang yang tidak sampai
beres kadang mampu berujung pada tragedi kemanusiaan yang menyakitkan, disana
ada pihak yang merasa tertindas dan ada yang berada di zona aman, disitulah
kemudian muncul ketidakadilan sosial-ekonomi yang harus kita hindari. Uang inilah kiranya yang juga
menjadi alasan aksi para buruh turun jalan menuntut perbaikan upah, tentu ia
aksi buruh tidak sebatas bermakna dangkal hanya soal “uang”. Tapi ia berdimensi
suara nurani, kemanusiaan, menyangkut hidup dan keadilan yang setiap orang
berhak memperjuangkan apa yang seharusnya menjadi haknya yang
mendasar bagi kehidupan yang layak dan manusiawi.
Hal
ini wajar, setiap orang memiliki hak dan pengharapan untuk merasakan hidup yang
adil dan sejahtera bagi harkat dan martabatnya sebagai mahluk manusia. Apalagi
dalam kerangka konsep kehidupan berbangsa dan bernegara. Dimana dalam konsep nation-state kehidupan dibangun diatas
dasar kontrak politik dan sosial, didalamnya ada hak dan kewajiban yang melekat
dan bersifat mutualisme antara bangsa dengan Negara. Disinilah dalam hal
kesejahteraan, Negara mengemban kewajiban menciptakan kondisi adil dan
sejahtera bagi bangsanya dalam berbagai sector kehidupan, termasuk ekonomi.
Tentu
kita juga tidak setuju jika buruh mendapat upah murah. Para buruh harus mendapat
gaji yang layak untuk memenuhi kebutuhan sehari harinya. Buruh sebagai kompenen
bangsa berhak menikmati kehidupan ekonomi yang sejahtera. Apalagi konstitusi
kita UUD 1945 menjamin hal
itu; kesejahteraan. Dalam UUD 1945 pasal 27 ayat (2) menegaskan bahwa tiap-tiap
warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.
Disinilah diperlukan kehadiran Negara yang mampu memberikan solusi adil bagi
semua pihak, terutama jalan adil untuk buruh dan pengusaha.
***
Upah
buruh indonesia menjadi momok dan persoalan mentradisi bagi dunia industri
kita. Dengan alasan klasik bahwa besaran biaya tenaga kerja berkontribusi besar
bagi peningkatan biaya produski. Kadangkala alasan klasik ini menjadi dasar
bagi korporasi untuk menrunkan gaji para buruh.
Apalagi
ditambah persoalan masih rendahnya produktifitas tenaga kerja Indonesia menjadi
pertimbangan berat para pengusaha. Tingkat produktifitas tenaga kerja Indonesia
berdasarkan produk domestik bruto (PDB) sebesar 20.000 dolar AS per pekerja.
Sedangkan di Thailand 22.900 dolar AS per pekerja. Terlebih dibandingkan dengan
Singapur dan Malaysia, yang masing-masing 114.400 dolar AS per pekerja dan
46.600 dolar AS per pekerja. Data perbadingan ini sebagai indikasi bahwa
tingkat produktifitas tenaga kerja Indonesia masih lebih rendah jika
dibandingkan dengan Negara ASEAN lainnya.
Dengan
persoalan demikian, sesungguhnya diperlukan kehadiran Negara untuk memeberi
jalan keluar yang adil. Dimana buruh harus mau meningkatkan produktifitasnya.
Sebab selama ini salah satu yang menjadi alasan saat pengusaha menolak kenaikan
upah adalah soal masih rendahnya produktifitas pekerja. Sepertinya pengusaha
tidak akan mempermasalahkan kenaikan upah buruh, jika produktifitas tenaga
kerja sudah menduduki level yang diharapkan.
Disisi
lain adalah tugas korporasi untuk bagaimana menekan biaya faktor produksi
lainnya. Disinilah diperlukan perhatian serius dan langkah inovasi dari para
pengusaha untuk melakukan inefisiensi biaya faktor produksi lainnya. Disisi
lain kontribusi dan trobosan pemerintah sangat diperlukan. Misalnya seperti
terus meningkatkan perbaikan infrastruktur sebagai jalan untuk menekan
tingginya biaya logistik akibat masih buruknya infrastruktur. Selain itu, suku
bunga kredit yang rendah juga dapat membantu pengusaha. Hal-hal itu harus terus
diperbaiki pemerintah, termasuk memberikan intensif pajak.
***
Disinilah
diperlukan jalan keluar yang ideal yang setidaknya harus melibatkan ketiga
pihak; buruh, pengusaha dan pemerintah. Ketiganya dilibatkan dan masing-masing
memberikan kontribusi yang terbaik. Selain itu keputusan yang diambil
pemerintah setidaknya harus memperhatikan kepentingan bangsa, kepentingan
kalangan pekerja, kepentingan dunia ketenagakerjaan dan kepentingan
kondusifitas iklim dunia usaha.
Pemerintah
sebagai penyelenggara Negara memiliki peran kuat yang harus mampu memberi jalan
tengah. Jalan yang menawarkan asas keadilan bagi kalangan pengusaha dan
pekerja. Sebua jalan yang bisa memutus perselisihan terkait upah minimum dan
mengakhiri kegaduhan hubungan industrial yang kerap terjadi selama ini.
Selain
itu, buruh dan pengusaha juga harus saling mengerti. Bahwa ketika kondisi
ekonomi dalam keadaan baik maka syogiyanya pengusaha harus lebih bijak dan adil
memberi upah. Namun sebaliknya, jika kondisi ekonomi apes seperti saat ini,
kalangan pekerja sejatinya mengerti dan memaklumi. Demi kelangsungan dunia
usaha maka penaikan upah menjadi wajar untuk di tahan secara terpaksa sampai
ekonomi membaik. Disinilah pekerja terlebih dahulu menahan sikap berlebihan
menuntut kenaikan upah, hal ini untuk menghindari kerugian semua pihak.
Dengan
jalan demikian, kita berharap aksi demontrasi ribuan buruh bukan lagi menjadi
fenomena yang wajar di Indonesia. Selama ini percekcokan antara buruh dengan
pengusaha di Indonesia menjadi pemandangan yang wajar pada setiap tahunnya.
Percekcokan soal upah yang tidak ada akhirnya adalah wajah iklim dunia usaha di
Indonesia. Dalam kondisi demikian pemerintah harus mengambil keputusan dan
harus tetap memberi solusi adil. Baik untuk kalangan pengusaha maupun untuk
kalangan pekerja.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar