Sabtu, 17 Oktober 2015

Asap dan Ketika Negara tak Berdaya



Oleh; Wahyudi

Akhir-akhir ini, pemberitaan media terhadap bencana kabut asap semakin marak menghiasi laporan utamanya. Bayi mungil berusia 24 hari, bernama Vanesa Tiara turut menjadi korban akibat asap dengan menderita infeksi saluran pernafasan akut (ISPA).

Ditengah ketidakberdayaan Negara mengatasi kebakaran hutan dan lahan, justru panggilan jiwa kemanusiaan menggerakan solidaritas sosial menjadi mekar, tumbuh dan bergerak tanpa harus diperintah. Solidaritas sosial bergerak menggunakan cara sendiri, mencari jalan sendiri dalam membantu korban kabut asap yang berjatuhan.

Inilah puncak dampak kabut asap yang berbulan bulan tak kunjung teratasi, bahkan sudah berlangsung selama 18 tahun; sejak tahun 1997. Ketika Sudah tidak ada lagi harapan yang bisa digantungkan kepada para pemimpinnya. Rakyat bergerak. Rakyat membutuhkan tindakan nyata. Solusi jangka pendek yang dampaknya bisa dirasakan mengendalikan kepungan kabut asap yang kian merajalela. Asap itu kian hari seperti tidak punya hati. Hingga titik panas di Sumatera mencapai 1.559 titik dan Kalimantan 257 titik. Data ini menunjukan bahwa sumber-sumber asap semakin banyak .

Rakyat membuat gebrakan. Lewat jaringan solidaritas sosial di seluruh tanah air. Rakyat bergerak tidak hanya dengan kampanye peduli di media sosial. Tetapi juga menyediakan berbagai jenis bantuan yang dibutuhkan warga untuk melawan asap. Peralatan medis, memasok masker gratis, oksigen kaleng, layanan medis, donasi dana dan lainnya.

Keprihatinan ini mengundang dan menggerakan aksi sosial berbagai kalangan; artis, mahasiswa, CSR perusahaan dan berbagai jenis komunitas lainnya.

***

Inilah puncaknya. Ketika Negara kuwalahan, tidak berdaya. Rakyat berinisiatif menyelamatkan diri dari kungkungan asap yang ditimbulkan oleh ulah mereka yang tidak bertanggungjawab. Demi keuntungan pribadi semata, kepentingan mereka harus bertaruhkan nyawa jutaan rakyat yang sama sekali dirugikan. Terus berulang dari tahun ke tahun. Operasi mereka dimudahkan oleh lemahnya kendali pemerintah, lemahnya penegakan hukum dan lemahnya pengawasan aparat pemerintah. Bencana yang terus terjadi tiap tahun ini diselesaikan hanya dengan cara-cara reaktif. Tanpa ada tindakan serius secara fundamental, terprogram dan jangka panjang. Jika program sudah ada, maka pelaksanannya yang belum serius.

Tindakan pencegahan lebih penting dari pada cara-cara reaktif. Kabut asap akibat kebakaran lahan yang terus berulang di Sumatera dan Kalimantan ini terjadi terutama disebabkan oleh pengelolaan lahan gambut yang tidak tepat. Ketidaktepatan tersebut bisa dilihat dari kegiatan konversi lahan gambut menjadi perkebunan kelapa sawit dan hutan tanaman industri secara besar-besaran.

Konversi lahan itu akhirnya memicu lahan gambut menjadi kering dan amat mudah terbakar. Terutama pada saat musim kemarau, apalagi wilayah Indonesia rentan el Nino (musim panas). Disinilah perlunya pembatasan dan pengendalian konversi lahan gambut. Oleh sebab itu pencegahan dan penanggulangan dini kebakaran lahan akan lebih efektif dari pada cara reaktif berupa upaya pemadaman saat kebakaran terlanjur terjadi.

***

Sepertinya pemerintah bukan tidak punya solusi. Sebab kita sudah mengerti apa yang harus dilakukan. Indikatornya mudah ditebak, bahwa persoalannya bukan tidak adanya cara. Pemerintah dengan segala potensi yang dimiliki. Semestinya bisa mengakhiri tradisi bencana ini. Setidaknya jika pemerintah punya rasa malu, solusi itu bukan tidak ada. Waktu, sumberdaya dan jalan keluar itu bukan tidak ada.

Ternyatan masalahnya berpulang kepada niatan, komitmen dan keseriusan semua pihak yang berkewajiban, terutama pemerintah. Hari ini, yang tidak dimiliki pemerintah untuk menyelesaikan persoalan ini adalah soal komitmen, niat dan keseriusan. Inilah sumber persoalan yang mendasar, mengapa bencana kabut asap terus menyelimuti Sumatera, Kalimantan dan beberapa provinsi sekitar pada tiap tahunnya (musim kemarau). Jawabannya, tidak adanya komitmen yang kuat dari penguasa.

Jumat, 16 Oktober 2015

Sabar dan Tawakal Hadapi Krisis

Ini salah satu tulisan saya yang terbit di Koran Sindo Jabar, di halaman opini edisi 3 September 2015.

Menurunkan Harga BBM dan TDL

Ini salah satu tulisan saya yang terbit di koran harian Tribun Jabar bagian Tribun Forum, Edisi Kamis 8 Oktober 2015.

Murid Membunuh Guru



Oleh; Wahyudi 

Pristiwa berdarah yang dilakukan murid SMK kepada gurunya baru-baru ini kembali terjadi di Tangerang Banten. Sungguh kenyataan pendidikan yang mengundang banyak tanya, sebuah pristiwa memilukan, memalukan dan memprihatinkan. 

Dalam berbagai surat kabar disebutkan; Dua guru perempuan, yakni Trihartati dan Muryana menjadi korban bacok oleh muridnya sendiri ketika keduanya sedang tidur di kamar rumahnya, Hingga keduanya kritis di Rumah Sakit. Pelaku berinisial FA adalah seorang murid yang duduk di kelas I SMK ini nekad mencoba membunuh kedua gurunya lantaran dendam. Sebab FA kesal terhadap kedua guru tersebut yang berulang kali memarahinya di depan teman-temannya karena sering telat masuk sekolah dan dinilai malas belajar.

Saking kesal dan nekad bercampur dendam, FA masuk ke rumah kedua guru tersebut melalui pintu atas secara diam-diam. Dengan berbekal golok dapur FA mendobrak pintu kamar tidur Triharti dan Muryana, keduanya ada dalam kamar, tanpa basa-basi FA dengan membawa golok langsung melampiaskan kekesalannya kepada gurunya. Alur kejadianyya kira-kira begitu. Kejadian ini sungguh contoh nyata sebuah potret krisis relasi guru dengan muridnya dalam dunia pendidikan. 

Dalam keterangan media disebutkan bahwa FA sebanarnya dikenal sebagai siswa yang baik oleh teman-temannya, ia tidak bandel atau nakal. Seperti siswa lainnya, FA juga bersikap normal. Tidak ada sikap aneh selama di sekolah. Wali kelasnya juga mengenal FA sebagai siswa yang baik-baik saja, tetapi FA belakangan menjadi pendiam ketika belum lama ayahnya meninggal.

***

Isu seputar pendidikan amatlah penting dikumandangkan dalam jagat perjuangan aspirasi politik. Kita patut mengkritisi kejadian ini. Tak perlu kita tutup-tutupi. Sekarang ini telah terjadi krisis relasi antara guru dengan muridnya, atau sebaliknya; murid dengan guru. Relasi antar guru dengan murid adalah lapisan proses pendidikan yang bersifat fital, kritis dan mendasar, saking fitalnya lapisan ini diperlukan perhatian yang besar. Kualitas relasi guru dengan muridnya menjadi penentu keberhasilan proses dan output pendidikan, baik secara mikro maupun makro.

Disisi lain, tidak sedikit guru yang miskin kecakapan soal teknis dan metodologis dalam membina relasi dengan muridnya. Belakangan praktik hubungan antara guru dan siswa terasa semakin kontraktual. Guru hanya menyampaikan materi ajaran karena tuntutan target pekerjaan, sedangkan investasi emosionalnya menipis. Proses relasi pun tidak berbasis nilai humanistas dan emosionalitas. Tetapi berbasis mekanisme (target) birokrasi yang amat kaku dan kering. Kondisi semacam ini bisa kita bayangkan, tanpa kita sadari menjadi sistem yang menciptakan stagnasi dan kematian nilai humanitas dan emosionalitas antara guru dan siswanya dalam proses kegiatan belajar mengajar. 

Relasi yang hanya kontraktual tersebut membuat guru gamang dan kehilangan nilai humanismenya. Akibatnya guru bisa “kejam” menghukum siswa jika melakukan kesalahan tanpa memperhitungkan tujuan dan manfaatnya. Hukuman fisik atau bersikap garang terhadap siswa pun sering kali menjadi solusi ketika berhadapan dengan siswa yang dianggap bermasalah. Disinilah titik berangkat beberapa kasus ekstrim yang berujung menjadi pristiwa kekerasan. Termasuk kasus FA dan kedua gurunya ini.

***

Dalam sistem ini tidak ada lagi guru yang bersimpati dengan siswanya. Pertemuan kelas hanyalah sebatas seremonial monoton dan tak bernilai apa-apa bagi siswanya, melainkan hanya mengejar tuntutan target nilai dan kurikulum. Proses pendidikan yang kering, tanpa hikmah, falsafah dan nilai sejati dari makna pendidikan yang sesungguhnya. Jika kondisi demikian dibiarkan, kemungkinan pendidikan semacam ini tidak akan mampu membimbing manusia menjadi manusia yang mengerti makna hakikat hidup dan kehidupannya. Yang ada hanya menghasilkan manusia-manusia kerdil dan kering.

Dalam kontek ini, kebaradaan guru sebagai orang yang memegang peran besar di sekolah harus tetap dipandang sebagai profesi yang luar biasa pentingnya, sehingga guru haruslah sosok manusia yang memiliki moral teladan, integritas karakter, intelektualitas, kebijaksanaan dan memenuhi syarat kemampuan pedagogik.

Mengingat bahwa kasus kekerasan di sekolah adalah persoalan lini relasi antar guru dengan siswa. Hal ini berkait erat dengan kualitas kecakapan teknis dan metodologis yang dimiliki seorang guru dalam menyampaikan transformasi pengetahuannya. Perhatian terhadap guru harus tetap mendapat porsi perjuangan politik yang besar, kita harus kritis melihat kurikulum pendidikan guru, pengkualifikasian guru dan proses lainnya. Tidak bijak rasanya jika kurikulum siswa saja yang harus disoroti, tetapi mengabaikan kurikulum pendidikan guru. Ingat bahwa guru adalah manusia biasa yang memerlukan proses pendidikan juga secara terus menerus.

Guru boleh saja tegas, tetapi tegas bukan berarti galak, bengis dan garang terhadap siswa. Apalagi tegas dengan cara penghukuman fisik. Kita sebagai guru harus tampil lebih bijaksana, humanis dan dewasa dalam menghadapi karakter siswa. Tidak harus galak, tetapi bagaimana mengarahkan siswa dengan cara berargurmen secara sehat dan mampu membawa siswa memahami situasi yang ia hadapi. Jika sikap galak dan hukuman fisik kita budayakan maka justru akan membuat anak-anak keliru berfikir bahwa sikap bengis, garang dan galak menjadi solusi menghadapi masalah.

Selasa, 06 Oktober 2015

Ketika Saya Menjadi Direktur I PT. WF Indo


Oleh; Wahyudi
 

Tanpa ada ambisi, apalagi ambisius menjadi pimpinan puncak perusahaan. Sama sekali tidak ada. Tetapi mitra dan rekan kerja di perusahaan menunjuk kapasitas saya memegang posisi Dewan direksi. Belum lama, sekitar tahun 2013 lalu saya ikut membidani dan meresmikan berdirinya perusahaan yang siap bergerak di pembangunan infrastruktur gedung dan agen pelaut. Saya kebetulan ditunjuk sebagai salah satu dewan direksi didalamnya.

Perusahaan ini berkantor pusat di Cirebon dan Indramayu. Tetapi daerah operasionalnya mencakup pulau jawa, Sulawesi, sumatera, bali dan Kalimantan. PT. Wanakaya Fortune Indo adalah perusahaan kontraktor yang menangani pengerjaan proyek insulation, refractory dan ducting infrastruktur gedung perkantoran.

Selain itu perusahaan ini juga giat terlibat dalam bisnis kelautan dan perikanan. Ada jajaran direksi yang memiliki kompetensi dan pengalaman di bidang kelautan dan perikanan. Saya mendorong agar kompetensi itu bisa digunakan sebagai gardu berinvestasi di sector maritim. Pada waktu itu dengan cepat saya bersama rekan direksi memulai MoU langsung dengan beberapa perusahaan perikanan di pelabuhan benoa bali. Saya merasa sangat sibuk sekali, bekerja 24 jam tiap hari. Hampi setiap minggu saya harus keliling ke beberapa daerah di bali dan jawa. Bersama direktur utama; pak Sopani, pa Ahfi dan pa Samudi, mereka orang-orang yang gigih, professional dan pekerja keras, mereka mitra yang sangat baik dan menginspirasi.

Pa Sopani sebagai dirut memiliki pengalaman yang kuat di sector pembangunan, perawatan dan perbaikan infrastruktur gedung. Perjalanan saya hingga mendapatkan kesempatan menjadi direksi ini cukup panjang.

Selama saya menempuh perjalanan proefsional di perusahaan tersebut. Alhamdulillah kinerja persuhaan berjalan baik dan solid. Tepat pada januari 2015 lalu. Saya merasa ingin belajar dan memasuki dunia baru. Walau berada di posisi puncak, saya merasa perlu waktu untuk berhenti sejenak dalam perjalanan di korporasi dan merenung apa yang sebenarnya mau saya lakukan. Selain mau berhenti sejenak, saya sekaligus ingin mengisi baterai dulu. Meski sudah bekerja, passion saya sepertinya lebih cenderung ingin menjelajahi jalur profesi lainnya.

Pernah saya mengajak kawan dekat, dia penulis. Saya ajak untuk mendirikan perusahaan pers. Saya juga pernah mengajak teman, profesinya guru, saya ajak untuk mendirikan lembaga pendidikan. Namun, orang-orang yang saya ajak ini rupanya belum memiliki keberanian, komitmen dan panggilan jiwa interpreuner sehingga sulit ia melangkah. 

Sebelum saya sibuk di PT. WF indo, saya aktiv juga sebagai pengurus Yayasan Wakaf Manba’ul ‘Ulum, yayasan yang sepenuhnya dikendalikan keluarga, perjalanan karir di Yayasan ini kurang bagus, tidak mengakomodasi potensi yang berasal dari luar lingakarn keluarga. Saya orang yang berasal dari luar lingkaran keluarga tentu sama sekali jangan berharap bisa berkontribusi besar. Sekalipun sudah lama mengabdi dan bekerja didalamnya. Yayasan ini cukup berkembang di dunia pendidikan secara swadaya. Memiliki lembaga pendidikan dari tingkat TK, SMK dan berencana ada perguruan tinggi juga.