Oleh; Wahyudi
Akhir-akhir ini,
pemberitaan media terhadap bencana kabut asap semakin marak menghiasi laporan
utamanya. Bayi mungil berusia 24 hari, bernama Vanesa Tiara turut menjadi
korban akibat asap dengan menderita infeksi saluran pernafasan akut (ISPA).
Ditengah
ketidakberdayaan Negara mengatasi kebakaran hutan dan lahan, justru panggilan
jiwa kemanusiaan menggerakan solidaritas sosial menjadi mekar, tumbuh dan
bergerak tanpa harus diperintah. Solidaritas sosial bergerak menggunakan cara
sendiri, mencari jalan sendiri dalam membantu korban kabut asap yang
berjatuhan.
Inilah puncak dampak
kabut asap yang berbulan bulan tak kunjung teratasi, bahkan sudah berlangsung
selama 18 tahun; sejak tahun 1997. Ketika Sudah tidak ada lagi harapan yang
bisa digantungkan kepada para pemimpinnya. Rakyat bergerak. Rakyat membutuhkan tindakan
nyata. Solusi jangka pendek yang dampaknya bisa dirasakan mengendalikan
kepungan kabut asap yang kian merajalela. Asap itu kian hari seperti tidak
punya hati. Hingga titik panas di Sumatera mencapai 1.559 titik dan Kalimantan
257 titik. Data ini menunjukan bahwa sumber-sumber asap semakin banyak .
Rakyat membuat
gebrakan. Lewat jaringan solidaritas sosial di seluruh tanah air. Rakyat
bergerak tidak hanya dengan kampanye peduli di media sosial. Tetapi juga
menyediakan berbagai jenis bantuan yang dibutuhkan warga untuk melawan asap.
Peralatan medis, memasok masker gratis, oksigen kaleng, layanan medis, donasi
dana dan lainnya.
Keprihatinan ini
mengundang dan menggerakan aksi sosial berbagai kalangan; artis, mahasiswa, CSR
perusahaan dan berbagai jenis komunitas lainnya.
***
Inilah puncaknya.
Ketika Negara kuwalahan, tidak berdaya. Rakyat berinisiatif menyelamatkan diri
dari kungkungan asap yang ditimbulkan oleh ulah mereka yang tidak
bertanggungjawab. Demi keuntungan pribadi semata, kepentingan mereka harus
bertaruhkan nyawa jutaan rakyat yang sama sekali dirugikan. Terus berulang dari
tahun ke tahun. Operasi mereka dimudahkan oleh lemahnya kendali pemerintah, lemahnya
penegakan hukum dan lemahnya pengawasan aparat pemerintah. Bencana yang terus
terjadi tiap tahun ini diselesaikan hanya dengan cara-cara reaktif. Tanpa ada
tindakan serius secara fundamental, terprogram dan jangka panjang. Jika program
sudah ada, maka pelaksanannya yang belum serius.
Tindakan pencegahan
lebih penting dari pada cara-cara reaktif. Kabut asap akibat kebakaran lahan
yang terus berulang di Sumatera dan Kalimantan ini terjadi terutama disebabkan
oleh pengelolaan lahan gambut yang tidak tepat. Ketidaktepatan tersebut bisa
dilihat dari kegiatan konversi lahan gambut menjadi perkebunan kelapa sawit dan
hutan tanaman industri secara besar-besaran.
Konversi lahan itu
akhirnya memicu lahan gambut menjadi kering dan amat mudah terbakar. Terutama
pada saat musim kemarau, apalagi wilayah Indonesia rentan el Nino (musim
panas). Disinilah perlunya pembatasan dan pengendalian konversi lahan gambut.
Oleh sebab itu pencegahan dan penanggulangan dini kebakaran lahan akan lebih
efektif dari pada cara reaktif berupa upaya pemadaman saat kebakaran terlanjur
terjadi.
***
Sepertinya
pemerintah bukan tidak punya solusi. Sebab kita sudah mengerti apa yang harus
dilakukan. Indikatornya mudah ditebak, bahwa persoalannya bukan tidak adanya
cara. Pemerintah dengan segala potensi yang dimiliki. Semestinya bisa
mengakhiri tradisi bencana ini. Setidaknya jika pemerintah punya rasa malu,
solusi itu bukan tidak ada. Waktu, sumberdaya dan jalan keluar itu bukan tidak
ada.
Ternyatan masalahnya
berpulang kepada niatan, komitmen dan keseriusan semua pihak yang berkewajiban,
terutama pemerintah. Hari ini, yang tidak dimiliki pemerintah untuk
menyelesaikan persoalan ini adalah soal komitmen, niat dan keseriusan. Inilah
sumber persoalan yang mendasar, mengapa bencana kabut asap terus menyelimuti
Sumatera, Kalimantan dan beberapa provinsi sekitar pada tiap tahunnya (musim
kemarau). Jawabannya, tidak adanya komitmen yang kuat dari penguasa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar