Sabtu, 29 April 2017

Buruh dan Hak Hidup Layak





Oleh: Wahyudi*
Membuat kondisi adil dan sejahtera adalah tugas besar pemimpin bangsa. Kita masih ingat bagaimana setelah pemerintah menetapkan PP Nomor 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan, yang terjadi adalah reaksi penolakan ribuan buruh yang tak kunjung meredam.  Kalangan pekerja menuntut perbaikan upah. Sebab pekerja khawatir, jika mereka tidak menuntut, tentu hak pekerja sesuai dengan hidup layak tidak akan tercapai sehingga terwujud kesejahteraan.

Kesejahteraan disini tentunya terutama kaum pekerja mendamba adanya perbaikan kesejahteraan materil. Dalam kesejahteraan materil biasanya yang menjadi objek konflik antara pekerja dan perusahaan adalah menyangkut soal upah minimum yang ukurannya ditentukan oleh nilai uang.

Persoalan upah yang menyangkut kepentimngan buruh, pengusaha dan pemerintah ini patut kita refleksikan di momen peringatan hari buruh setiap tanggal 1 Mei. Dalam momen ini kita kaum pekerja, pemerintah, dunia usaha dan semua pihak patut untuk merefleksi kembali tentang dunia ketenagakerjaan kita. Terutama menyangkut kesejahteraan pekerja, seperti perlindungan, jaminan hak hidup layak dan hak asasi kemanusiaan lainnnya yang dijamin oleh konstitusi kita dalam UUD 1945.

Uang kadang menjadi alasan setiap insan untuk mempertahankan sikap dirinya dalam menjaga eksistensi hidupnya, meskipun tidak melulu menyangkut uang, tetapi juga menyangkut nurani kemanusiaan. “Waktu adalah uang” begitulah kiranya bunyi istilah familiar ditelinga banyak orang. Uang memang bukanlah segalanya, namun segalanya butuh uang, setiap gerak-gerik kehidupan ini pasti sedikitnya memerlukan uang.
Persoalan uang yang tidak sampai beres kadang mampu berujung pada tragedi kemanusiaan yang menyakitkan, disana ada pihak yang merasa tertindas dan ada yang berada di zona aman, disitulah kemudian muncul ketidakadilan sosial-ekonomi yang harus kita hindari. Uang inilah kiranya yang juga menjadi alasan aksi para buruh turun jalan menuntut perbaikan upah, tentu ia aksi buruh tidak sebatas bermakna dangkal hanya soal “uang”. Tapi ia berdimensi suara nurani, kemanusiaan, menyangkut hidup dan keadilan yang setiap orang berhak memperjuangkan apa yang seharusnya menjadi haknya yang mendasar bagi kehidupan yang layak dan manusiawi.

Hal ini wajar, setiap orang memiliki hak dan pengharapan untuk merasakan hidup yang adil dan sejahtera bagi harkat dan martabatnya sebagai mahluk manusia. Apalagi dalam kerangka konsep kehidupan berbangsa dan bernegara. Dimana dalam konsep nation-state kehidupan dibangun diatas dasar kontrak politik dan sosial, didalamnya ada hak dan kewajiban yang melekat dan bersifat mutualisme antara bangsa dengan Negara. Disinilah dalam hal kesejahteraan, Negara mengemban kewajiban menciptakan kondisi adil dan sejahtera bagi bangsanya dalam berbagai sector kehidupan, termasuk ekonomi. 

Tentu kita juga tidak setuju jika buruh mendapat upah murah. Para buruh harus mendapat gaji yang layak untuk memenuhi kebutuhan sehari harinya. Buruh sebagai kompenen bangsa berhak menikmati kehidupan ekonomi yang sejahtera. Apalagi konstitusi kita UUD 1945 menjamin hal itu; kesejahteraan. Dalam UUD 1945 pasal 27 ayat (2) menegaskan bahwa tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Disinilah diperlukan kehadiran Negara yang mampu memberikan solusi adil bagi semua pihak, terutama jalan adil untuk buruh dan pengusaha.
***

Upah buruh indonesia menjadi momok dan persoalan mentradisi bagi dunia industri kita. Dengan alasan klasik bahwa besaran biaya tenaga kerja berkontribusi besar bagi peningkatan biaya produski. Kadangkala alasan klasik ini menjadi dasar bagi korporasi untuk menrunkan gaji para buruh. 

Apalagi ditambah persoalan masih rendahnya produktifitas tenaga kerja Indonesia menjadi pertimbangan berat para pengusaha. Tingkat produktifitas tenaga kerja Indonesia berdasarkan produk domestik bruto (PDB) sebesar 20.000 dolar AS per pekerja. Sedangkan di Thailand 22.900 dolar AS per pekerja. Terlebih dibandingkan dengan Singapur dan Malaysia, yang masing-masing 114.400 dolar AS per pekerja dan 46.600 dolar AS per pekerja. Data perbadingan ini sebagai indikasi bahwa tingkat produktifitas tenaga kerja Indonesia masih lebih rendah jika dibandingkan dengan Negara ASEAN lainnya.

Dengan persoalan demikian, sesungguhnya diperlukan kehadiran Negara untuk memeberi jalan keluar yang adil. Dimana buruh harus mau meningkatkan produktifitasnya. Sebab selama ini salah satu yang menjadi alasan saat pengusaha menolak kenaikan upah adalah soal masih rendahnya produktifitas pekerja. Sepertinya pengusaha tidak akan mempermasalahkan kenaikan upah buruh, jika produktifitas tenaga kerja sudah menduduki level yang diharapkan.

Disisi lain adalah tugas korporasi untuk bagaimana menekan biaya faktor produksi lainnya. Disinilah diperlukan perhatian serius dan langkah inovasi dari para pengusaha untuk melakukan inefisiensi biaya faktor produksi lainnya. Disisi lain kontribusi dan trobosan pemerintah sangat diperlukan. Misalnya seperti terus meningkatkan perbaikan infrastruktur sebagai jalan untuk menekan tingginya biaya logistik akibat masih buruknya infrastruktur. Selain itu, suku bunga kredit yang rendah juga dapat membantu pengusaha. Hal-hal itu harus terus diperbaiki pemerintah, termasuk memberikan intensif pajak.
***

Disinilah diperlukan jalan keluar yang ideal yang setidaknya harus melibatkan ketiga pihak; buruh, pengusaha dan pemerintah. Ketiganya dilibatkan dan masing-masing memberikan kontribusi yang terbaik. Selain itu keputusan yang diambil pemerintah setidaknya harus memperhatikan kepentingan bangsa, kepentingan kalangan pekerja, kepentingan dunia ketenagakerjaan dan kepentingan kondusifitas iklim dunia usaha. 

Pemerintah sebagai penyelenggara Negara memiliki peran kuat yang harus mampu memberi jalan tengah. Jalan yang menawarkan asas keadilan bagi kalangan pengusaha dan pekerja. Sebua jalan yang bisa memutus perselisihan terkait upah minimum dan mengakhiri kegaduhan hubungan industrial yang kerap terjadi selama ini.

Selain itu, buruh dan pengusaha juga harus saling mengerti. Bahwa ketika kondisi ekonomi dalam keadaan baik maka syogiyanya pengusaha harus lebih bijak dan adil memberi upah. Namun sebaliknya, jika kondisi ekonomi apes seperti saat ini, kalangan pekerja sejatinya mengerti dan memaklumi. Demi kelangsungan dunia usaha maka penaikan upah menjadi wajar untuk di tahan secara terpaksa sampai ekonomi membaik. Disinilah pekerja terlebih dahulu menahan sikap berlebihan menuntut kenaikan upah, hal ini untuk menghindari kerugian semua pihak.

Dengan jalan demikian, kita berharap aksi demontrasi ribuan buruh bukan lagi menjadi fenomena yang wajar di Indonesia. Selama ini percekcokan antara buruh dengan pengusaha di Indonesia menjadi pemandangan yang wajar pada setiap tahunnya. Percekcokan soal upah yang tidak ada akhirnya adalah wajah iklim dunia usaha di Indonesia. Dalam kondisi demikian pemerintah harus mengambil keputusan dan harus tetap memberi solusi adil. Baik untuk kalangan pengusaha maupun untuk kalangan pekerja.